8. Handsome?
“Yes, so?” Aku bingung.
“Giovanni Diaz. You know what? Dia tampan sekali walaupun sudah tua. Hmm, maksudku sudah bapak – bapak. But, I love him.” Kata Belinda sambil memeluk foto buronan kelas kakap itu.
“Belle, dia buronan.”
“So what? Dan lihat Wolfgang, kau tahu, ia juga tak kalah tampan dengan Xavier, walaupun ia ayahnya sendiri.”
“Coba kulihat fotonya.” Kataku sambil merebut foto buronan itu. Lalu Belinda menyerahkan fotonya dan aku melihat – lihat, entah dari mana ia dapat fotonya. Kalau diperhatikan, Giovanni dan Wolfgang memang tampan, gagah, ya sempurna. Hmm, Elena juga cantik, Helena, walau sudah tua tetap gagah. Tunggu, kenapa foto Megan, dan Alessandra tidak ada? Tunggu, kalu tidak salah, tidak ada yang tahu keberadaan mereka, disini hanya tertera foto saat remaja mereka saja. Dan Trisha dan Edmund Silver? Mereka juga tidak jelas. Aku rasa ada yang aneh dari foto Giovanni ini? Apa ya? “Sudah belum melihat – lihatnya?” Tanya Belinda.
Lalu aku menerahkan foto – foto itu. Aku merasa ada ikatan batin pada Giovanni. Perasaan macam apa ini? “Natalie, apa yang kau pikirkan, kenapa tampangmu seram begitu?” Belinda mengejutkan lamunanku.
“Eh, nothing.” Jawabku.
3 hari kemudian.
“Hmm, kerja bagus.” Komentarku pada para pekerja. Ya, restorannya sudah jadi. Dan tebak, dibelakangku sudah ada pasukan penghabis a.k.a pasukan tong sampah makanan karena ini launching restoranku. ‘The Lasagna.’ Ya, kemarin mama bilang jangan menggunakan nama ‘Supernova’ karena terdengar kejam, entah apa maksudnya, lalu aku berfikir makanan kesukaanku, ya lasagna. Aku merenovasinya dengan model berbeda. Nuansa classic nan artistic untuk lantai satu dan dua. Lantai dua bisa digunakan untuk acara – acara, seperti meeting, birthday party, gathering, dan lainnya, sedangkan lantai tiga, adalah sebuah salsa’s place, nuansanya futuristic, gothic but, comfortable, dan cocok untuk berkumpul. Tentunya aku menaikan tarif makanan 0.5%.
Lalu para pasukan gila yang kubawa menyerbu dan memborong makanan. Lalu aku naik ke balkon lantai dua, lantai tiga masih ada beberapa renovasi, jadi kelantai dua saja. Huh, lelahnya, sekarang sudah jam 05.00 pm, pemandangan petang yang menyenangkan. “Apa masih ada sisa makanan untukku?” Tanya seseorang dibelakangku, hey, kenapa aku tak merasakan hawanya, dan sepertinya aku kenal, lalu aku berbalik badan. “Xavier, sejak kapan kau ada disini?”
“Baru datang.” Katanya lalu ia mendekat dan berdiri disampingku, apa maunya?
“Apa maumu? Maaf, tapi untukmu tak ada diskon.” Kataku.
“HAHAHA… tenang saja akan kubayar penuh.” Dia tertawa? Apanya yang lucu?
“Ada yang lucu?”
“Tidak, kau ini hebat, masih muda bisnisnya lancar, sayangnya pelit.”
“Kurang ajar.” Mukaku sinis.
“Tenang, aku hanya bercanda.”
“Apa tujuanmu untuk menyerahkan ayahmu, Wolfgang untuk kupenggal kepalanya?” Pertanyaanku sepertinya terdengar kejam.
“Tidak tentunya. Sudahlah, aku ingin memesan makanan, ayo.”
“Ayo?”
“Kebawah, kau tidak mau menikmati makan malam? Ayo.” Ajaknya kebawah. Lalu aku turun bersamanya. Aneh, dia muncul tanpa sebab. Lalu ia duduk dan memesan makanan. Anehnya kenapa aku mau duduk satu meja dengannya? Sebentar, ada yang mengawasiku? Siapa, aku melihat keadaan, semua makan dengan tenang. Sudahlah. Lalu tak lama makanan kami datang. Aku berusaha makan dengan tenang, lalu tak lama mama datang dengan Jena. Jena Ron? Bukankah ia asisten Melinda, oh ya, katanya Melinda ingin pindah, kapan tapi pindahnya? Lalu mama duduk satu meja dengan Katherine. Dan sepertinya melihat fenomena aneh yang terjadi padaku, yaitu satu meja dengan Xavier. “Hey, kau terlihat tidak berselera, apa ada yang mengganggumu?” Tanya Xavier, ku yakin ia heran dengan sikapku.
“Nothing.”
“You know what? Aku heran padamu, kau akutansi saja tidak bagus tapi, usahamu sukses.”
“Tahu dari mana? Ya, bagian itu memang aku malas mempelajarinya walau penting, aku lebih berminat pada sejarahnya. Tapi aku tidak mendalami ilmu itu.”
“Kau lupa, bertahun – tahun kita satu sekolah?”
“Apa iya? Entahlah, hmm, apa kau sudah bertemu ayahmu lagi?”
“Belum, aku tinggal sendiri, well, tentu aku punya pelayan, tapi aku sendirian.” Jawabnya, lalu iya melanjutkan makannya, kalau kulihat, sepertinya iya tidak bohong. Lalu aku juga mulai memakan makananku.
“Kau tinggal dimana?” Tanyaku lagi.
“Jetsetter Residence, kau ini bagaimana. Sama sepertimu, hanya berbeda lokasi saja.” Jawabnya lagi, oh ya, seluruh vampire yang tinggal di Inggris terutama perkotaanya tinggal di Jetsetter.
“Oh ya, kau belum mengatakan kenapa kau bisa sukses.” Lanjutnya lagi.
“Aku pintar meyakinkan dan pintar bicara. Kau tinggal dibagian mana?”
“Kau kan di Forbidden Hills, aku di Cleopatra City, No. 1, hmm, jangan – jangan kau tak tahu kerjaku di markas bagian apa? Dan untuk perkataanmu yang pintar meyakinkan aku mengerti akan hal itu.” Tanya Xavier lagi. Aku hanya menggelengkan kepala sambil memakan makananku. “Memangnya apa yang kau mengerti?” Lalu ia tidak melanjutkan tetapi malah memakan makanannya sambil tersenyum.
“Memang dibagian apa?” Tanyaku.
“Patroli, makanya kau tidak pernah melihatku kan?” Katanya, aku hanya nyengir tanpa dosa dengan tampang tidak ikhlas.
“Kau naik apa kesini?” Aku bertanya lagi.
“Bus.”
“Bus? Kendaraan manusia itu? Payah.”
“Kau ini menghina saja. Lalu maumu apa?”
“Karena aku tidak tahu rumahmu, aku akan mengantarmu. Dan, sebagai rasa bersalahku karena tidak menganggapmu, makanan ini biar aku yang bayar, makanlah sepuas hati.” Kataku. Sepertinya, dari tampangnya ia puas sekali karena makan gratis. Dasar pria. Lalu tak lama, setelah kami semua selesai makan, mama mengucapkan terima kasih atas kehadiran pasukan lapar yang datang kesini dan menutup acara makan massal ini. Padahal aku yang membuka acar, siapa juga yang mengijinkannya menutup acaraku. Sudahlah. Lalu kami semua pulang, dan aku menuju ke parkiran dan Xavier mengikutiku dari belakang. “Biar aku yang menyetir, anggaplah sebgai rasa terima kasih atas traktiranmu.” Katanya, aku hanya menganggukkan kepala dan melemparkan kunci mobil padanya. Kali ini aku naik mobil sport, Nissan Skyline. Lalu kami naik kemobil, lalu pergi menuju kerumah pria ini. Lalu aku menyetel musik, hmm, mungkin lagu Jonas Brothers.
“Jonas Brothers – That’s Just The Way We Roll? Kau suka itu? Ini lagu yang bagus.” Tanya Xavier.
“Mereka keren menurutku.”
“Lebih tampan mana dia denganku?”
“Eh? Pertanyaan bodoh, memangnya kau kenapa? Sudahlah, kendarai saja mobil ini dengan benar.” Kataku ketus. Dia hanya tersenyum licik. “Apa senyum – senyum?“ Tanyaku ketus lagi.
“When You Look Me In The Eyes, aku suka lagi yang ini. Kau ini galak sekali.” Sepertinya ia protes tapi nadanya tidak begitu, dan seenaknya saja mengganti lagunya. Aku diam saja. Lalu sepertinya aku melihat sosok aneh, siapa itu? Tidak mungkin setan kan? Aku tidak pernah percaya akan itu. Siapa yang membuntutiku? Sekarang aku lebih paranoid, aku tidak ingin seperti itu. “Tampangmu seram sekali ada apa?” Tanya Xavier.
“Tidak. Kenapa kita berhenti?”
“Sudah sampai. Apa kau tidak menyadarinya.”
“Cepat sekali.”
“Tidak juga, tadikan jalanan sedikit macet, kau tadi tertidur. Kalau kau tidak macet, mungkin 30 minute sudah sampai. Ini, 1 jam lebih lama.” Jelasnya, ini bukan rumahku, ini rumahnya? Cukup besar tetapi lebih sederhana. “Ini rumahmu?” Sepertinya pertanyaanku terdengar bodoh. Dia hanya menganggukan kepala, lalu berkata, “Mau masuk?”
“Kapan – kapan saja, terima kasih.” Jawabku, lalu ia turun dan aku segera berpindah tempat kekursi kemudi. Lalu ia melambaikan tangan dan aku menanggapi lambaiannya. Lalu aku pulang, jaraknya tidak terlalu jauh. Setelah sampai dirumah, aku mencari ibuku yang ternyata ada didekat kolam renang, tidak persis dipinggirannya, karena sebelum memasuki kolam renang, ada meja billiard dan mama sedang main billiard dengan Melinda dan Jena. “Hmm, ada tamu rupanya, apa ini malam terakhir kalian di London?” Tanyaku pada Melinda dan Jena.
“Sejujurnya secara teknis, ya ini malam terakhirku bersenang – senang di London karena aku akan pindah ke Paris, tetapi Jena tidak ikut, hanya aku saja, kadi seharusnya kau memakai kata – kata ‘kau’ bukan ‘kalian’.” Terang Melinda sambil memperhatikan bola – bola itu, lalu kujawab, “Okay, selamat bersenang – senang, dan aku ingin tidur, sampai jumpa.” Kataku lalu berbalik badan. “Hey, Natalie, besok temani mama ke bandara untuk mengantar mereka okay, dengan jet pribadi mama, maksudku mama ingin berlibur ke Paris, karena sudah memasuki musim gugur sepertinya, pemandangannya pasti bagus. Tapi tenang, kau tidak perlu ikut.” Terang mama, lalu aku berjalan kekamarku, sedah memasuki musim gugur rupanya, pantas saja agak berangin dan dingin, okay. Aku lalu menuju kekamar, sikat gigi, cuci muka, dan berganti pakaian lalu tidur.
Keesokan harinya…
Hari ini aku mengantar mama, secara teknis menemani mama, kali ini aku berangkat dengan supir pribadi. Setelah hal rutin dipagi hari, yakni sarapan, mandi dan kawan – kawannya selesai, aku berangkat dengan mama. Lalu sambil menunggu sampai ke bandara, aku mendengarkan musik di i-Pod, hmm, aku mencoba memejamkan mata agar tidak melihat keluar. Tentu aku masih trauma karena peristiwa akhir – akhir ini. Mama hanya sibuk dengan majalah fashion ya baru terbit untuk sesi autumn. Lalu tanpa diduga, aku tertidur.
Beberapa lama kemudian…
“Bangun, dasar tukang tidur, Natalie!!!” Teriak mama diakhir kata dengan nada yang sedikit ditekkan.
“Eh, sudah sampaikah?” Aku kaget.
“Kau tidak ingin melihat aku ya? Aku sengaja mengajakmu agar aku bisa mengucapkan salam perpisahan, tidak seperti saat nenekmu berangkat.” Omel mama. Lalu kami turun dari mobil. Dan kulihat pesawat jet didepan mata, jadi kami mamng masuk bandara, ya seperti biasanya, kenapa aku ling-lung? Mungkin karena baru bangun tidur, lalu setelah ritual perpisahan maksudku, salam perpisahan selesai, aku merasa ada hal yang aneh akan terjadi, seperti firasat. Lalu aku masuk mobil bersama Jena. Ya, tidak lucu kalau kita satu arah tapi Jena kuterlantarkan disini dan menunggu serta menaiki alat transportasi manusia. Lalu kami berangkat, ditengah perjalanan aku bertanya pada Jena, “Apa kau merasa aneh selama perjalanan, Jen?”
“Tidak juga, ada apa memangnya?”
“Tidak. Mungkin firasatku saja. Bagaimana Melinda itu orangnya?”
“Seperti yang kau ketahui, agak manja, suka mengeluh, memangnya kenapa?“
“Tidak. Mungkin saja dia berbeda bila bersamamu.”
“Sama saja, oh ya, terima kasih atas voucher makannya. Enak sekali, aku pernah kesana sebelum namanya bernubah jadi ‘Lasagna’, yang ini lebih enak. Lalu siapa manager restorannya?”
“Entahlah, saat diperjalanan tadi, mama mengusulkan ide gila yang akhirnya aku terima yaitu, Lucie.” Terangku, lalu aku langsung mengingat peristiwa saat dimobil tadi, mama cerewet sekali sampai aku tertidur.
“Pasti alasannya karena ia punya firasat – firasat jitu.”
“Ya, dan hebatnya, kata mama, sekarang ia sudah ada disana. Kurasa ini alasan mengapa mama pulang lebih lama dariku, walau aku yang sampai belakangan dirumah.” Disaat mukaku tertekuk saat berbicara dengannya, ia malah tertawa. Kukira hanya Xavier yang seperti itu, ternyata itu memang sikap natural. Aku sepertinya harus mulai membiasakan hal ini. Bertahun – tahun aku di Moscow yang isinya para vampire siap tempur, saat pulang ke London, malah yang kuterima sikap vampire yang berselera humor. Mana kutahu akan hal ini, sepertinya aku harus banyak belajar. Lalu setelah beberapa lama, kami sampai juga. Aku dan Jena keluar dari mobil di pintu masuk lobby utama dan segera menuju ruangan. Tidak ada yang special hari ini, lalu giliranku berpatroli. Aku berpatroli menggunakan mobil Belinda, hebatnya hari ini ada kasus pencurian toko didaerah Jetsetter Residence. Hali ini jarang terjadi, biasanya para pemberontak vampire mencuri toko – toko besar di kota, sayangnya saat kami sampai, pencurinya sudah diringkus dikeamanan setempat dan sisanya, selayaknya polisi aku yang menanganinya. Ternyata pencurinya adalah buronan, kenapa harus sudah tertangkap sih? Kan lumayan ada mainan, sebelum kumasukan kemobil patroli yang ada dibelakangku tentunya, aku menendang perutnya dengan dengkulku lalu aku memukul wajahnya sampai memar. Lalu setelah itu, ada rumah yang kebakaran, lalu team pemadam kebakaran vampire menanganinya lalu aku juga yang menangani kasusnya, tentunya bersama Belinda. Belinda kali ini tidak banyak bicara. Aku jadi curiga. Sampai malam kamli mangerjakan kasus. Aku ingin membunuh apa salahnya sih? Memang pertahanan perumahan ini kuperketat tetapi malah tidak seru. Kalau sudah tahu begitu seharusnya kubiarkan saja sistim keamanan yang lama. Walaupun banyak warga yang senang dengan pertahanan keamanan yang baru, tapi ini merugikanku. Lalu setelah semua selesai, aku mengajak Belinda makan daerah pertokoan Jetsetter Residence. Aku memesan salad dengan saus mayo-blood dan minumannya jus melon-blood. Sepeertinya belida tidak bernafsu makan. Lalu aku bertanya padanya, “Kau kenapa?”
“Ada yang menerorku, dengan surat merah jambu, bertinta putih, membuatku susah membacanya, dan hali itu cukup menyiksaku.” Terangnya, aku mendengarkan ocehannya dengan kegiatan memakan makananku, lalu ia berkata lagi, “Dia bilang, jaga temanmu baik – baik atau hal buruk akan terjadi padanya. Berarti Kevin dalam bahanya!!!” Katanya. Aku kaget dan tersedak, lalu segera minum – minumanku, sepertinya yang dimaksud peneror itu aku, bukan Kevin. Kurasa dia tidak bisa kuandalakan saat ini, lalu aku berkata padanya, “Kau tidak perlu mengantarku, aku jalan kaki saja, sudahlah, ini, bayar ya nanti.” Lalu setelah berkata begitu aku langsung pergi. Aku berlari sekencang mungkin menuju rumah Xavier, aku tidak mau direpotkan oleh Belinda yang cerewet itu, mungkin lain kali kau bisa memanfaatkan Jena untuk jadi partner baruku dan Belinda melayani vampire Paris yang entah siapa yang dikorbankan untuk pertukaran. Lalu setelah beberapa lama aku sampai juga, memang capek berlari dengan jarak yang cukup lumayan. Lalu aku membuka pintu pagarnya dan menuju pintu masuknya. Lalu aku mengetuk pintunya, tidak ada respon, huh, Xavier ini vampire macam apa, masa tidak ada bel pintu dirumahnya. Lalu aku mengitari rumahnya, sepertinya ada jendela yang terbuka, lalu aku melompat saja kejendela itu dan masuk. Tidak ada tanda – tanda kehidupan sepertinya, kamarnya juga gelap. Lalu kudengar ada seseorang, siapa itu? Tapak kakinya terasa sekali. “HUAAAAA!!!” Teriaknya, ternyata Xavier. “Kau kenapa, seperti melihat setan saja.” Protesku santai.
“Kita memang setan, Natalie, kenapa kau masuk kerumah orang tidak permisi dulu, aku kan malu.” Katanya sambil memakai kemejanya. Ya, saat bertemu dengannya, di hanya memakai jeans panjang, lalu rambutnya basah, sepertinya habis mandi.
“Minimal aku setan paling cantik, kau ini berlebihan sekali.” Lanjutku lagi.
“Hah, dasar kau ini, tidak ada malunya. Jangan mentang – mentang perumahan ini milikmu jadi bisa masuk seenaknya, sertifikat rumahku ini hak milik tahu.” Katanya, lalu kancing terakhir dikaitkan, ya dia sudah selesai memakai kemejanya. “Okay, aku minta maaf. Bisakah kau menolongku?” kataku dengan nada santai.
“Apa?”
“Tidurlah dikamarku. Kenapa tempatnya gelap? Kau lupa membayar listrik ya?” Kataku sambil melihat – lihat, dan aku duduk ditempat tidurnya.
“Apa? Enak saja, aku belum sempat mengganti lampunya. Dan aku tidak mau. Kau ini bukan siapa – siapaku, kenapa aku harus tidur dikamarmu?” Jawab Xavier, kenapa reaksinya aneh? Sepertinya dia jadi sedikit gugup, lalu aku melanjutkan perkataanku, “Hey, memangnya kenapa, aku butuh penjagaan, anggaplah kau anjingku. Ya sudah, kalau kau tidak mau tidur dikamarku, aku akan tidur disini saja.” Lalu aku merebahkan badanku ditempat tidurnya. “Hey, jangan ayo bangun.” Lalu ia menghampiriku dan menarik tanganku sampai aku berdiri. Dan akhirnya, aku bangun dan berdiri tepat diwajahnya, maksudku, wajah kami sangat dekat. Wajahku sangat sinis, tapi wajahnya seperti vampire bodoh. “Baiklah, aku akan menemanimu.” Keputusan akhirnya.
“Bagus, sekarang dengarkan aku, prajurit, sebenarnya…”
“Mungkin lebih baik kita duduk, kau tahu, posisinya terlalu sempit.” Xavier memotong pembicaraanku, entah apa maksudnya. Tanpa basa – basi, aku duduk lagi dikasurnya, dan ia duduk disampingku. “Ada yang mau menculikku. Kupikir karena rumahku tidak ada penghuni, maksudku, mama dan nenek tidak ada, aku merasa tidak aman.” Terangku.
“Lalu, kau merasa aman didekatku?” Tanya Xavier. Aku hanya menganggukan kepala tidak pasti, lalu aku berkata, “Bisakah kita pulang sekarang?”
“Okay, mungkin sebaiknya kau menggunakan pintu.” Katanya, aku hanya menganggukan kepala. Lalu kami keluar kamar dan menuju pintu keluar. Lalu kami berjalan keluar, dan Xavier menyalakan mesin motor sport-nya. Lalu kami berangkat menuju rumahku, rambutku terkibas – kibas terkena angin malam. Sepertinya tidak akan lama perjalanan kami. Tak lama kami sampai, pengawalku membukakan pintu gerbang, lalu Xaivier memarkirkan motornya didepan pintu masuk, setelah itu, kubilang pada Xavier biarkan saja motornya disitu saat kulihat sepertinya ia ingin memarkirkan motornya. Lalu kami masuk, dan para pelayanku menyambut, “Selamat datang, Nyonya Muda.” Lalu aku diam saja dan berjalan. Sepertinya mereka heran kenapa malam ini aku membawa seekor pria. Lalu aku berjalan menuju kamarku, dan Xavier mengikutiku, dari ekspresi wajahnya, sepertinya ia tidak biasa dengan atmosphere para pelayanku yang siap melayaniku setiap saat ini. Lalu begitu sampai didepan pintu kamarku, aku membuka pintu, lalu kami masuk. “Well, welcome to my room, Mr. Nara. Kau vampire kedua yang bukan anggota rumah tapi sudah masuk kesini.” Kataku, sepertinya nadaku tadi tertengar seperti wanita berkuasa. Dilihat dari tampangnya, sepertinya Xavier tidak terlalu terkejut, dia hanya menganggukan kepalanya. “Aku tidur dimana, Nyonya Muda?” Tanya Xavier.
“Disitu, tentunya diamana lagi.” Lalu aku menunjuk kearah tempat tidurku. “Kau yakin, aku bisa tidur disini.” Katanya sambil menunjuk kearah sofa. “Tidak mau, tidur disampingku, bagaimana kalau penculiknya lebih cepat darimu?” Jawabku, sepertinya nada bicaraku seperti pengecut, whatever. “Aku ganti baju tidur dulu, kau tinggu disini.” Lanjutku lalu menuju kearah lemariku yang besar sekali. Setelah beberapa lama, aku kembali, tentunya setelah aku mencuci muka dan menggosok gigi. Aku melihatnya duduk di sofa. “Lepas sepatumu, aku tidak mau tempat tidurku kotor.” Sapaku padanya, ia lalu melepas sepatu dan kaus kakinya. Lalu aku menuju tempat tidurku karena aku lelah sekali. Dia hanya melihatku dari sofa, “Apa, ayo kemari.” Protesku. Lalu ia mendatangiku dan duduk berselonjor serta senderan didinding, tempat tidurku memang menempel didinding posisinya. “Pakailah selimut.” Kataku lagi, lalu ia memasukan setengah badannya keselimut dan tetap senderan sambil menatapku yang sudah diposisi tidur, lalu kuberkata lagi, “Kau ini kenapa?”
“Kenapa kau meminta bantuanku? Bukankah tenagamu, selayaknya Hercules, Natalie?”
“Well, tertulis dibuku, manusia adalah makhluk sosial, kupikir vampire juga begitu, lagi pula tertulis juga dibuku, bersama lebih baik dari pada sendiri.” Jawabku santai.
“Hahaha, kau ini lucu sekali, ya sudah, aku akan menjagamu disini, tidurlah nyenyak – nyenyak.” Katanya, aku tidak menjawab. Aku tahu, satu ranjang dengan pria memang beresiko, itu kata artikel koran yang pernah kubaca yang bercerita tentang ‘Married By Accident In Vampire Teenage Life’. Sudahlah, toh aku memang tidak macam – macam. Lalu aku tertidur pulas, yang kuharapkan, aku bisa tidur nyenyak, itu saja.
Keesokan harinya…
Huaa, aku bangun dari tidurku, lalu aku lihat kesampngku, Xavier tertidur pada posisinya semalam, bersender. Kemarin saat sebelum aku berganti baju, aku menelepon Fiona agar tidak membangunkanku pagi ini. Melihatnya tertidur lucu juga. Lalu aku bangkit dari tempat tidurku dan mandi, ya melakukan ritual pagi seperti biasa, kebetulan hari ini aku libur, jadi aku punya waktu bersantai. Setelah semua selesai, aku duduk disamping Xavier dan membangunkannya, “Hey, pemalas, bangun.” Kataku sambil menepuk – nepuk pipnya. Plak, tangannya memegang tanganku, lalu ia berkata sambil menutup matanya, “Aku sudah bangun, kau mau apa lagi, Nyonya Muda.” Lalu ia membuka matanya. Kenapa aku jadi merasa aneh begini. Ia menatapku, tapi aku diam saja. Lalu aku tersadar dari lamunanku, “Lepaskan tanganku.”
“Baik, Nyonya. Kau merasa aman sekarang?” Tanya Xavier. “Tidak juga. Jadi kau merasa tidak senang membantuku? By the way, terima kash karena rela bermalam denganku.”
“Sama – sama, Natalie. Aku libur hari ini, mungkin ada yang bisa kubantu lagi.”
“Hmm, aku juga libur, ayo sarapan dulu, hmm, setelah itu, aku akan mengantarmu kekamar tamu untuk mandi, oh ya, disana ada pakaian yang mungkin bisa kau pakai, aku sudah menyiapakan semuanya.” Kataku. Lalu aku bangun dan ia bangkit dari tempat tidurnya, kami segera menuju ruang makan, disana kami sarapan pagi bersama. Aku duduk kursi pertama lalu kupersihalkan Xavier duduk disisi kananku. “Hmm, apa makanannya enak?”
“Kau bercanda Natalie, ini enak sekali. Ada yang ingin kutanyakan padamu.” Xavier sepertinya kelaparan, ia makan dengan lahap tetapi tidak kampungan. “Mengapa kau memilihku? Maksudku, kenapa harus aku yang menemanimu?” Tanya Xavier kemudian. “Entahlah, kupikir kau bisa diandalkan. Kau juga posisinya dekat, aku mencoba mempercayai seseorang, mungkin kau bisa jadi eksperimen percobaanku.”
“Apa kau normal? Kepercayaan tumbuh dengan sendirinya, bukan sebuah eksperimen.”
“Kalau kubilang tidak bagaimana? Aku tidak pernah percaya pada sesama 100%, jangankan 100%, 50% -pun tidak, termasuk keluargaku, dan vampire yang ada disekelilingku.” Jawabku santai.
“Kenapa? Kenapa aku kelinci percobaannya?”
“Karena kau laki – laki.”
“Hubungannya?”
“Bisakah kita makan dengan tenang? Cepat habiskan makananmu lalu mandi!” Setelah berkata begitu, kami segera mengahbiskan sarapan kami, lalu Xavier bangkit dari kursinya, melihat ia bangkit aku langsung berkata pada Fiona, “Antar dia menuju kamar tamu.” Lalu kulihat ia menurut saja. Aku sendiri bingung dengan diriku sendiri, mengapa aku seperti ini? Lalu aku keruang seni dan bermain piano disana. Mungkin akan membantuku menghilangkan stress, entah apa yang dilakukan orang tuaku sampai seperti ini, aku tidak tahu apa – apa, kenapa ada yang mau menculikku? Kulantunkan lagu ‘The Sound Of Music’ dengan piano. Huh, rasanya kepalaku mau pecah. Mungkin memang aku harus mulai mempercayai seseorang, aku lupa, restoranku belum ada manager-nya. Bagaimana ini? Tunggu sebentar, Lucie, ya, mungkin sebaiknya kutelepon dia, lalu aku mengeluarkan ponsel dari sakuku, lalu menelepon Lucie, lalu ia mengankat teleponya, “Hallo? Natalie, ada apa?”
“Kau dimana, paranorlmal?”
“Di Lasagna, ada apa? Situasi restoran aman kok, pembeli puas dengan hasil karyamu.”
“Benarkah? Syukurlah, aku yakin nilai akutansimu bagus, makanya strateginya lancar. Sampai nanti.”
“Eh, tunggu, Natalie…” lalu aku menutup teleponnya, lalu berteriak, “Keluar kau!!! Siapa disana???”
“Ini aku, Nat ada apa?” Ternyata Xavier, kukira penculikku, maksudku bukan berarti kupunya penculik pribadi, tapi sudahlah, aku memang paranoid. “Aku tadi mencarimu, ternyata disini.”
“Mau apa kau mencariku?”
“Kau ini, kau yang membawaku kesini, berarti semuanya berdasarkan kau, sekarang apa lagi yang bisa kubantu?” Lalu ia mendekatiku. Aku sendiri bingung apa yang harus kulakukan. “Bisakah aku menghajarmu?”
“Natalie, apa yang kau bicarakan? Kau ini kenapa?” Lalu ia bertekuk lutut, seperti sedang berbicara pada anak kecil yang posisinya lebih rendah. “Aku sendiri bingung, aku tidak punya siapa – siapa. Entahlah, aku bingung, bisakah kau memberiku kegiatan, kupikir tadi aku ingin ke Evangels untuk memukul sesuatu, apa kau ada ide?”
“Okay, kau mau kemana? Kebun binatang? Kuyakin penculiknya tidak akan menyangka kau disana.”
“Tempatnya bau, aku tidak suka. Aku ingin ke Russia, ikut kegiatan militer, agar aku ada kegiatan.”
“Hah? Menyeramkan sekali. Kau ini lucu ya.” Lalu ia mengelus rambutku.
“Hey, aku bukan anjing.”
“Memang bukan, kau kan setan.”
“Mengelus rambutku? Itu kan hal yang dilakukan untuk memanjakan anjing.”
“Kau benar – benar abnormal, sudahlah, wanita lucu, kalau kau ingin membunuh, kita berburu saja mau?”
“Ide bagus, aku akan menyiapkan senapan. Ayo ikut aku.” Lalu aku menarik tangannya menuju keruang persenjataan bawah tanah. Aku membawa sniper, lalu ia kupinjamkan siper juga. Setelah itu, aku berangkat dengan mobil Hammer-ku. Lalu tak lama kami sampai dikawasan hutan. “Kau yakin tidak ingin berburu dengan kuku dan taringmu?”
“Tenanglah, aku punya izin berburu, ayo.” Lalu kami turun dan mulai mencari mangsa. Biasanya daging buruannya kujual atau kusumbangkan, aku tidak membutuhkannya, aku hanya ingin kepuasan tersendiri, mungkin terdengar kejam, tapi mau bagaimana lagi. Biasanya aku mengincar domba gunung, babi hutan (karena aku benci melihat binatang yang menjinjikan itu, makanya khusus daging babi, aku tidak memakannya), dan burung dara, atau burung yang bisa dimakan. Lalu aku melihat burung melintas, cantik sekali, sayang dia elang, sesama buas, aku tidak ingin memburu. Lalu aku menuju tempat diamana babi hutan bersarang. Bagus, mangsaan banyak, lalu aku mencoba menembak, dan kena, haha, lalu aku disindir oleh Xavier, “Tembakan bagus, tapi beranikah kau berkubang dilumpur dan mencakarnya?”
“Kau bercanda, itu menjijikan.”
“Kalau begitu, aku yang maju.” Lalu Xavier meletakan senapannya dan mendekat, ia mengejar babi yang lari degan lincah lalu menerkamya, hmm, aku jadi iri akan itu, lalu aku mencoba seoerti itu, tapi percayalah, ini bukan pertama kalinya aku begini, pada saat kecil, aku diberi pelatihan oleh Alessandro Wynn (bukan berarti karena marganya ‘Wynn’ ia buronan) mengenai berburu di Moscow. Dia guruku. Lalu dalam sekejap aku menangkap seekor babi dengan cakarku, lalu menusuknya, tepat dibagian jantung dan lehernya agar ia tidak tersiksa lama – lama dan langsung mati. Lalu Xavier tepuk tangan dan berkata, “Marvelous, tak kusangka kau bisa juga, dan caranya indah.” Aku diam saja, lalu berbalik mengambil senapan, aku tidak sudi meminum darah kotor babi. Tapi sepertinya Xavier juga tidak menghisap darahnya, lalu aku kembali kemobil dan menaruh senapan, kuputuskan khusus hari ini, aku berbiri dengan kuku dan taringku. “Oh ya, sebelum itu, aku ingin mengajakmu kesuatu tempat, ayo.” Lalu aku mengendarai mobilku menuju suatu pos, disana ada penjaganya, ya lalu aku menuju garasi yang ada disitu, dan tebak, big foot. Aku tertawa jahat, lalu mengendarai big foot tersebut, Xavier hanya menggelengkan kepalanya. Yi ha… kita berangkat menulusuri hutan. Aku mungkin seperti kerasukan setan, padahal setannya aku sendiri (sadar keadaan diri sendiri). Kami berpetualang gila – gilaan, lalu ketika aku sampai disarang para babi hutan, kami turun dan membunuh mereka tanpa menghisap darah mereka. Ada 6 ekor, ya kira- kira segitu, lalu aku menyuruh Xavier mengangkat mereka dan mengikat ke atap big foot. Setelah selesai dan hari sepertinya hampir senja, lalu aku memutuskan untuk pulang, dalam perjalanan, tak duduga aku melihat seseorang, eh tidak dua orang tertusuk dan menempel dipohon, hampir saja aku tabrak, tunggu, mereka, Vikki dan Eden??? Lalu aku segera turun dan menolong mereka, aku mengecek denyut nadi Vikki, dan Xavier mengecek Eden, dan ternyata Vikki tewas, tetapi Eden masih hidup. Aku mencabut belati yang menancap dijantung Vikki dan Xavier mencabut belati yang menancap pada Eden. “Oh brother, dia mati.” Kataku sambil merangkul Vikki, lalu Xavier menjawab, “Pria ini hidup, belatinya hampir saja mengenai jatungnya, dia beruntung, posisi belatinya tidak mengenai jantungnya, keadaannya kritis.” Tanpa banyak bicara, kami mengankut mereka ke kursi belakang (untung ada kursi belakang untuk big foot yang ku punya ini walaupun memang sangat sempit) lalu dengan kecepatan penuh, kami melaju ke pos yang tadi, dan berganti kendaraan, lalu menuju VHO Hospital. Dan menyerahkan mereka pada dokter setempat, lalu aku menelepon Katherine, sudah kuduga tanggapannya pasti menyalahkanku sebelum kujelaskan. Tak lama, Katherine datang bersama Kurt, tentu ia ingin melihat kakaknya untuk yang terakhir kalinya, “Kau membunuh sekeretarisku, Natalie. Bahkan pacar Vikki-pun kau bunuh.” Tuduh Katherine. Oh ya, katanya Vikki punya hubungan dengan Eden.
“Kat, percayalah, bukan aku, well, kurang suka pada pribadi Vikki, tapi ini bukan perbuatanku, lihat saja sendiri mayatnya didalam.” Jawabku santai sambil menunjuk kekamar mayat yang berada tepat dibelakangku. Katherine dan Kurt langsung masuk, lalu kubertanya pada Xavier, “Menurutmu ini perbuatan siapa?”
“Entahlah, tunggu Eden siuman, baru bisa menyimpulkan, tapi sepertinya, hmm, Luster dan Amanda Ernesto.”
“Siapa mereka?”
“Eh, tidak, aku pernah bertemu mereka, dan mereka masuk dalam daftar buronanku. Mereka suka membunuh dengan cara cantik dan menancapkan korbannya didinding, atau pohon.”
Kenapa aku tidak tahu tentang mereka? Hmm, oh ya, “Xavier, kau tahu Gordon Silver?”
“Tahu dari mana kau nama itu? Ya aku tahu, dia adalah orang tua yang tampangnya tanpa dosa, berbadan besar, dan sangat kalem, tapi dia berbahaya.”
“Claudio Ernesto, dia yang memberitahuku.” Dilihat dari tampangnya, ia sepertinya banyak tahu, apa aku harus mengorek info darinya? Lalu aku bertanya lagi, “Apa kau tahu gadis bernama Savanna?” Setelah bertanya begitu, mukanya langsung pucat, “Aku tahu aku tidak bisa berbohong padamau, tapi ya aku tahu.”
“Siapa dia?” Muka Xavier seperti menyimpan sesuatu? “Dia… hmm, bagaimana menjelaskannya ya? Hmm…”
“Tidak perlu dijelaskan!!! Natalie, kau tega sekali membunuh Vikki.” Katherine memotong perkataan Xavier, menggangu saja wanita ini. “Berapa kali harus kujelaskan bahwa aku tidak membunuhnya, kau gila atau apa?” Jawabku ketus.
“Dia tidak membunuhnya, tapi sepertinya ini ulah Amanda dan Luster.” Xavier membelaku. “Kau yakin mereka?” Respon Katherine, sepertinya ia mulai tenang, lalu Kurt menyahut, “Siapa mereka?”
“Hmm, mereka yang jelas criminal vampires, tapi kau tenang saja, mereka akan kutangkap, kau pasti sedih karena kakakmu terbunuh.” Jelas Xavier.
“Dimana kalian menemukan Vikki?” Tanya Katherine kemudian.
“Hutan? Apa kau masih curiga padaku?” Jawabku, sepertinya ia mengabaikanku, dan beralih pada Xavier, “Biar kutebak, tertancap dipohon besar?”
“Ya, seperti biasa, dengan belati khasnya, hmm, ini dia.” Lalu Xavier mengeluarkan belati yang sudah dimasukan kedalam plastik yang biasa digunakan polisi untuk membungukus barang bukti dari saku mantelnya, kapan ia membungkus kedua benda ini? Lalu benda itu diambil Katherine dan ia memperhatikannya, lalu memasukan benda itu kedalam tasnya. Mencurigakan sekali mereka, sedangkan aku tidak tahu apa – apa, sungguh menyedihkan. “Eden Lee, dimana dia?” Tanya Kurt.
“Ruang ICU, dia kritis sekali, kita hanya bisa melihatnya dari luar.” Setelah kujawab begitu, Kurt menuju ruang ICU, lalu kami mengikutinya. Lalu kami masuk dan menggunakan pakaina hijau aneh, maksudku pakaian higienis aneh itu, dan melihat Eden dari kaca. Untuk bernafas saja ia dibantu oksigen, benar – benar menyedihkan. Lalu Katherine berbicara pada suster yang ada disitu, kebetulan, “Jaga Mr. Lee dengan baik, dia saksi penting, aku sudah menghubungi pengawal untuk bertugas menjaganya, mungkin sebentar lagi datang, persiapkan segalnya dengan baik.” Susternya hanya menjawab dengan anggukan kepala dan kata - kata, “Baik, Miss Clearwater.” Lalu aku keluar ruangan, dan Xavier mengikutiku, aku mencopot pakaian aneh berwarna hijau ini, aku berjalan dengan cepat, lalu Xavier berlari mengejarku, “Natalie kau mau kemana?”
“Pulang, mau kemana lagi?” Lalu Xavier berusaha mengikuti langkahku, dan akhirnya kami berjalan bersama dengan kompak, kurasa, “Huh, kau pulang denganku, kan? Xavier?”
“Kalau kau ingin begitu ya sudah, tidak masalah.” Lalu aku segera menuju mobilku dan pulang, kali ini aku meinta Xavier untuk menyetir, karena aku sudah capek, lalu tak lama kami sudah berada dirumahku, bahkan sudah ada dikamarku. Lalu aku duduk disofa, dan menyuruh Nina untuk membawakan minuman hangat dan beberapa kue. Setelah minuman dan kuenya datang, aku mulai berbicara, “Siapa Luster dan Amanda Ernesto, Mr. Nara?”
“Wanita jahat dan licik, haruskah kau mengintrogasiku? Nyonya Muda?”
“Satu kesatuan dengan Patricio dan Claudio?”
“Secara teknis, mereka satu marga, tapi, secara keakuran, mereka kurang akrab. Lagi pula, Amanda dan Luster istilahnya lebih most wanted then Patricio and Claudio.”
“Benarkah? Haruskah aku terkejut?”
“Terserah. Boleh kuminum?” Xavier menunjuk kearah cangkir dan kue – kue.
“Silahkan, sesuka hatimu.” Setelah berkata begitu, lalu ia makan dan minum, aku juga meminum, hmm, teh manis ini, lalu berkata lagi, “Boleh kulihat foto mereka?”
“Andai aku punya, tapi aku akan memberitahukan ciri – ciri mereka, setelah aku mnghabiskan ini.” Setelah itu, aku menghabiskan tehku, dan meningglaknnya untuk berganti pakaian. Mencurigakan, kenapa ia lebih tahu daripadaku? Setelah beberapa lama lalu aku selesai, dan menghampirinya lagi, dia masih disofa, membaca majalah yang ada disitu. “Xavier?”
“Oh, Nat, hey, hmm…”
Lalu aku duduk disampingnya, “Apa yang ingin kau jelaskan?”
“Oh, ya, Amanda Ernesto, dia lebih tua dari Luster, 2 tahun, dia tidak terlalu tinggi atau pendek, tapi lebih pendek sedikit darimu, putih, dan rambutnya hitam.”
“Apa dia lebih cantik dariku?”
“Pertanyaan konyol, lalu Luster Ernesto, dia sedikit lebih pendek dari Amanda, dia berambut hitam agak coklat, tubuhnya mungil. Mereka selalu berdua, kemana – mana, entah ada dimana mereka, mereka memang tidak terlihat berbahaya, tapi, percayalah, mereka sesungguhnya berbahaya.” Jelasnya, apa juga maksudnya itu pertanyaan konyol, kan aku hanya bertanya.
“Apa kau punya data tentang mereka?”
“Entahlah, nanti kucarikan untukmu.”
“Okay, terima kasih, hmm, aku sudah mengantuk, ayo tidur.”
“Duluan saja, tenang, aku akan menjagamu, Nyonya Muda.” Lalu ia melanjutka membaca majalahnya. Dan aku tidur duluan.
No comments:
Post a Comment