Saturday, June 12, 2010

Cerpen: Created By; Meyanne.

Impian Anak Gubernur
Namaku Tania, umurku 18 tahun, dengan status sebagai anak seorang gubernur. Ya, ayahku adalah seorang gubernur DKI Jakarta. Ayahku adalah sosok yang tegas dan memiliki rasa gengsi yang tinggi. Seacara teknis, ayahku adalah pemimpin yang baik.
Ia banyak memberi kepada masayarakat yang kurang mampu, dan bertanggung jawab dalam menjalani tugasnya sebagai seorang gubernur. Tetapi, aku bukanlah gadis lugu yang tidak mengerti kehidupan dunia, dengan tekhnologi yang canggih tentunya aku sangat mudah mendapatkan informasi. Aku terkadang heran, dengan begitu banyaknya pengemis, tentu keberadaan pengemis ini dapat merusak gambaran orang tentang Indonesia. Bukan berarti aku tidak cinta Indonesia atau merendahkan pengemis, aku sering melihat bapak – bapak, ibu – ibu bahkan manula sengaja mengemis, mereka berganti pakaian disuatu tempat dan pura – pura memelas, padahal mereka mampu.

Ini yang menurutku janggal dan patut diperbincangkan, kenapa ayahku hanya memberi pada mereka? Bukan memberikan pekerjaan yang lebih layak, aku berpikir seperti ini bukan berarti aku tidak suka akan sikap ayahku memberi mereka, tetapi alangkah baiknya bila mereka diberi pekerjaan. Aku pernah bertanya pada ayahku suatu hari, “ayah, mengapa mereka tidak diberi pekerjaan? Lebih baik kita membuat lahan hijau dari pada bangunan – bangunan, dan membiarkan mereka yang mengurus lahan itu?”
“Makasudmu? Kau menilai tidakan ayah salah?”
“Bukan begitu maksud Tania, tetapi alangkah lebih baik bila ayah menggaji mereka, dari pada mereka menjadi masyarakat yang gemar mengemis, alias malas. Kupikir dengan begini…”
“Tania, tolong jangan banyak bicara, kau tidak mengerti apa – apa, Tania.”
Aku suka kesal bila mengingat peristiwa itu. Motto hidupku, ‘Do the Action, and Talk Less’ lebih baik aku bertindak dan membukitkan pada ayah kalau aku bisa.
Perjalananku dimulai, aku yang biasanya berpakaian bagus dan ber-merek berubah menjadi sosok gadis yang tidak berkecukupan. Aku menyewa rumah didaerah kumuh di Jakarta, dan mulai mempelajari kehidupan mereka. Aku beruntung bertemu dengan sekumpulan anak-anak yang mempunyai rasa semangat tinggi dalam mengejar pendidikannya. Mereka ditolong dengan cuma - cuma oleh seorang pria bernama Henri. Ia masih muda, dan menurutku tindakannya sangat terpuji, membuatku tertarik untuk menanyakan segala tentang kehidupan disini. Lalu aku mulai mengobrol dengannya, “jadi mengapa kau melakukan semua ini, padahal kan hidupmu sudah berkecukupan?”
“Maksudmu?” aku bingung dengan pertanyaan kawan baruku itu. “Saya tahu, kamu adalah Tania, seorang anak gubernur kan? Jangan terkejut, saya juga sebenarnya anak seorang mentri.”
“Okay, jadi apa rencanamu?”
“Seperti yang kau lihat, saya ingin membantu mereka yg tidak bisa bersekolah, minimal mereka bisa membaca dan menulis. Kalau kau Tania, apa yang kau rencanakan?”
“Memberikan pekerjaan yang layak pada orang tua mereka, saya rasanya ingin sekali membeli lahan – lahan yang kosong sebelum disentuh oleh para arsitektur untuk membuat mall dan bangunan lainnya.”
“Apa yang kau rencanakan akan lahan kosong itu?”
“Saya akan mengisinya dengan sayur-sayuran, buah, dan tamanam bermanfaat lainnya.”
“Ya, tanamlah pohon dan selamatkan bumi, kau benar juga, selain akan mengurangi pengangguran, juga dapat menyelamatkan bumi, hebat juga pemikiranmu.”
“Ya, jadi kita yang akan mengaji mereka, itu lebih baik dari pada mereka harus mengemis.”
Lalu aku dan Henri bekerja sama, ya aku sangat bersyukur aksiku ini mendapat dukungan, dan kita saling mendukung. Henri membantuku untuk mencari lahan-lahan kosong yang masih tersisa di Jakarta. Kami menemukan beberapa lahan kosong, dengan statusku tentu mudah untuk mendapatkan lahan itu agar tidak dibeli oleh orang lain. Dimalam harinya aku dan Henri mulai menyusun remcama agar para pengemis dan masyaratak kurang mampu lainnya bisa lebih mandiri. Aku juga berfikir, bagaimana kalau membuat ‘Bank Sampah’ jadi orang tidak akan lagi membuang sampah sembarangan, tentunya juga menaikan harga perkilonya agar mereka para pemulung memiliki penghasilan yang lebih baik.
Mungkin juga aku harus mempresentasikan rencanaklu ini, lalu aku menceritakan pada Henri tentang semua ideku. “Tania, idemu bagus sekali, tetapi masalahnya, untuk mewujudkan itu semua mebutuhkan modal yang besar. Kecil kemungkinan kalau kau akan didengar oleh ayahmu.”
“Henri, tidak ada yang tidak mungkin, buktinya kau bisa mengajari mereka, itu membuktikan kalau semuanya mungkin.”
“Kau tahu, ayahku juga menentangku, padahal kalau dipikir niatku baik, jadi menurutku, itu mustahil Tania.”
“Tidak ada yang mustahil, pasti. Bagaimana kalau, hmm…”
“Apa?” lalu aku membisiki Henri tentang ideku yang nekad, Henri hanya menggelengkan kepalanya, lalu berkomentar “idemu memang bagus, sangkin bagusnya, sampai sulit untuk diwujudkan.”
“Ayolah, kau kan temanku, bantulah aku ya? Aku mohon.” Lalu Henri menatapku dan mengangukan kepalanya, aku tersenyum dengan penuh kebahagiaan, ya kebahagiaan yang akan terjadi setelah aku merencanakan ideku yang benar-benar nekad ini.
Lalu setelah ini, aku mencatat semua ideku, dan bersiap untuk segalanya, tetapi setelah kupikir, mungkin aku terlalu terburu-buru. Untung aku membawa SLR-ku, jadi aku bisa memotret keadaan sekitar, untuk dokumentasiku. Lalu aku mulai menelusuri jalan, memotret lahan kosong, dan kegiatan para masyarakat yang kurang mampu, mulai dari saat mereka berganti pakaian lalu mengemis, memungut, meng-kilokan sampah, dan kegiatan mengajar Henri.
Setelah cukup aku mencetak hasil fotoku, lalu memperlihatkan hasilnya pada Henri, “bagus, mungkin kau juga bisa mewawancara masyarakat sekitar, dan menanyakan apa yang mereka perlukan.” Komentar Henri. “Okay, terima kasih atas masukanmu. Menurutmu siapa yang patut kuwawancara?”
“Hmm, bagaimana kalau dari semua kalangan usia?”
“Okay, terima kasih telah membantu, Henri, kau memang teman yang baik.”
“Sama – sama, terima kasih juga karena kau juga mendukung kegiatanku.” Aku hanya tersenyum, lalu aku segera bersiap menyiapkan pertanyaan untuk kutanyakan besok. Ini benar-benar menyenangkan, sungguh, ternyata membantu orang dan hidup sederhana menyenangkan. Semakin lama aku tinggal disini, rasanya semakin hari aku mulai lebih menghargai kehidupan, terkadang aku suka boros dalam menggunakan barang elektronik yang ada dirumahku, sekarang aku menyewa rumah ynag jauh lebih kecil dari rumahku, dan hal itu membuatku berjanji agar ketika aku pulang ke rumah lamaku, aku tidak akan menggunakan barang elektronik secara berlebihan lagi.
Mungkin sikapku aneh, mengapa tiba-tiba aku menjadi peduli terhadap masyarakat yang kurang mampu? Ini semua berawal dari hari itu, dimana ketika aku sedang berjalan-jalan, aku melihat seorang anak bertengkar dengan ibunya, anak itu berusaha merebut buku yang dipegang ibunya, mungkin buku pelajaran sekolah, dari ibunya, dan anak itu berkata, “ibu aku mohon, jangan kau jual buku ini ke tukang loak, aku ingin belajar ibu,” lalau sang ibu hanya menjawab, “masalahnya untuk apa kau belajar? Lagi pula kita tidak punya uang, kita orang miskin nak, kalaupun kita pintar, tetap saja kita akan dikalahkan oleh para orang kaya yang memiliki uang, kau harus paham itu.” Anak itu hanya menangis dan berkata, “tapi ibu…” sambil menangis ibu anak itu hanya berkata, “ibu berkata seperti ini bedasarkan kenyataan, kau harus menerima kenyataan ini nak, percaya pada ibu.” Anak itu tidak terima dan berlari meniggalkan ibunya, aku yang penasaran lalu mengikuti anak itu, dan sampailah ditempat ini, ya anak itu tinggal ditempat kumuh ini. Aku baru menyadari akan hal ini, hartaku begitu banyak tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku harus melakukan sesuatu yang akan menguntungakan mereka.
Keesokan harinya, aku mulai mencari sumber wawancara, lalu aku bertemu seorang wanita, ya sepertinya aku bisa mewawancarainya, wanita itu terlihat sedang mencuci pakaian, sepertinya ia buruh cuci. “Permisi bu, maaf menggangu sebentar,”
Lalu dengan tenang lalau wanita itu tersenyum lalu berkata, “silahkan nak, ada perlu apa,” aku lalu duduk disampingnya dan mulai melakukan wawancara, namanya Erni. Ibu berusia 45 tahun dengan 2 orang anak, suaminya telah meninggal, dan anak-anaknya tidak sekolah, tapi ia beruntung ada pria baik yang mau mengajarkan anak-anaknya. Aku yakin maksudnya Henri. Harapannya adalah ia bisa mendapat pekerjaan yang layak dan anak-anaknya bisa sekolah, tanpa harus dibeda-bedakan oleh orang yang lebih mampu, karena terkadang ia suka dihina oleh masyarakat yang lebih mampu. Penghasilannya sebagai buruh cuci paling banyak hanya 25 ribu untuk beberapa keluarga, dan kalau nasibnya kurang beruntung, ia hanya bisa mendapat uang sebesar 8 sampai 10 ribu saja. Benar-benar kasihan, aku yakin masih banyak orang yang nasibnya sama seperti ibu Erni.
Lalu setelah itu aku bertemu dengan seorang nenek yang sedang mengupas kacang, namanya Ningsih. Nenek berumur 75 tahun ini hidup sendirian, karena suaminya telah meninggal dan anak-anak setra cucunya berada diluar kota. Dengan pekerjaannya yang seperti ini ia hanya dapat 5 ribu rupiah setiap harinya, kalau nasibnya sedang untung, ia bisa mendapat upah sampai 7 ribu rupiah. Harapannya adalah pemerintah dapat membantu nasibnya dan mempetemukannya dengan keluarganya. Aku semakin mengerti akan arti nominal uang, bagiku 500 rupiah adalah sampah, tetapi bagi mereka itu adalah rejeki, karena memang mencari uang 500 bahkan 1000 rupiah saja susah sekali. Mulai sekarang aku akan lebih menghargai uang. Lalu aku berjalan lagi dan bertemu anak kecil, namanya Toni. Umurnya 7 tahun, tetapi ia tidak sekolah, harapannya adalah ia ingin sekali bersekolah. Hanya itu.
Setelah semuanya selesai, aku menuju kedaerah para pengemis, beruntung aku disambut baik oleh mereka, lalu aku bertanya-tanya pada mereka, dan mereka menjawab, “kami sebetulnya ingin bekerja yang lebih layak, karena mencari pekerjaan memang susah. Kami akui kami memang malas, tetapi mau diapakan lagi? Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena keterbatasan kami.” Lalu aku bertanya pada mereka, “kalau saya menggaji kalian, dengan upah yang lebih baik, maukah kalian bekerja untuk saya?” mereka lalu menjawab, “ya, kami mau.” Aku lalu ternenyum dan berkata, “terima kasih atas waktunya, doakan saja semoga saya dapat mewujudkan impian kalian.”
Lalu mereka terseyum dan pulang. Aku pulang kerumahku, bukan rumah kontrakanku dan mengedit hasil karyaku dan menjadikannya film dokumenter. “Dari mana saja kau Tania?” Tanya ibuku, “maaf mama, aku tidak pulang dalam 4 hari ini, aku menginap dirumah temanku dan…”
“Mama tau kalau kau menginap dirumah temanmu, temanmu sudah memberi tahu mama, tidak masalah,” aku hanya tersenyum seraya berkata dalam hati, “maaf mama aku harus bebohong.” Aku bersahabat dengan anak presiden, dan ia juga yang akan membantuku.
Lalu aku melanjutkan pekerjaanku, dan besok akan ada kejutan di kantor presiden, ya aku dan akan ditemani Henri untuk menyelinap ke kantor presiden karena aku tahu, besok ayah ada rapat dengan presiden. Aku hanya berharap agar rencanaku berjalan lancar.
Lalu keesokan harinya pagi-pagi sekali aku sudah bangun, dan mengetes film dokumenterku. Dan hasilnya bagus. Semoga presiden akan mendengarkanku, lalu aku dijemput oleh anak presiden, lalu aku berkata agar menjemput Henri terlebih dahulu. Setelah menjemput Henri lalu kami segera menuju ke tempat dimana presiden akan melaksanakan rapatnya dengan ayahku. Lalu kami masuk dan tentunya mendapat halangan ketika kami ingin masuk keruang rapat. Lalu Henri menghajar para pengawal dan aku berserta anak presiden berlari masuk, lalu ditengah jalan kami dihadang lagi. Kali ini anak presiden yang menghajarnya, untungnya ternyata ia belajar bela diri, lalu ia berkata, “cepat, kau tunjukan pada semua orang yang ada diruang rapat untuk melihat hasil kerja kerasmu.” Lalu aku berlari dan sampailah diruang rapat, ada pengawal yang menghalangiku dan aku berusaha menerobos masuk. Walau berhasi masuk dengan pengawal yang memegangi tanganku, “Tania? apa yang kau lakukan disini?”
“Maaf kalau saya tidak sopan, tetapi kalian harus dengar ini.” Lalu ayahku sedikit membentakku, “Tania!” lalu presiden menenangkan ayah dan berkata, “sudahlah, beri dia kesempatan, biarkanlah ia mengungkapkan sesuatu.” Lalu presiden memberi kode pada pengawal dan melepaskanku, aku menuju komputer dan memasukan CD dokumenterku, lalu tampilah sebuah gambar-gambar yang kupotret dari proyektor kelayar yang ada.
Aku mulai mempresentasikan diri, “ini adalah sebagian kecil dari yang kalian lihat, lahan ini, adalah lahan salah satu dari lahan kosong yang entah kapan akan berdiri sebuah bangunan di lahan ini. Mengapa kita tidak memanfaatkannya?” lalu aku mulai menjelaskan ideku tentang menyulap lahan ini menjadi kebun. Dan para pengemis yang mengelolanya, menggaji mereka agar tidak ada lagi pengemis di Jakarta, lalu tentang sampah dan sampai akhirnya tentang orang-orang yang sudah kuwawancarai. Tentang impian para rakyat kecil. Mulai dari ibu Erni, sampai para pengemis. Lalu para hadirin yang ada diruang rapat tersebut berdiri dan tepuk tangan, termasuk ayah dan presiden, ayah menangis akan hal ini lalu berkata, “walaupun ini membutuhkan modal, tetapi anakku ada benarnya juga, cara ini lebih efektif untuk mengurangi masalah kemiskinan. Ayah bangga padamu, maafkan ayah karena meragukanmu nak.” Lalu ayah mendekat dan memelukku, lalu presiden berkata, “idemu akan diwujudkan, Tania, selamat kau akan mendapat penghargaan atas ini. Terimak kasha Tania, kau telah menyadarkan kami.”
“Bukan hanya aku saja, aku mohon agar temanku yang ditahan oleh pengawal diluar depersilahkan masuk.” Lalu tak lama, masuklah Henri dan anak presiden, lalu saat Henri masuk salah satu orang yang ada disitu berkata, “Henri, apa itu kau?”
“Ayah, iya ini aku.” Jawab Henri, rupanya disitu ada ayahnya Henri juga, lalu aku menjelaskan tentang kegiatan Henri, yaitu mengajar kepada anak-anak yang kurang mampu, “seharusnya ayah mendengarkanmu nak,” kata ayahnya Henri. Lalu setelah peristiwa ini, tidak lama impianku terwujud. Ya sepertinya ini bukanlah impianku saja, tetapi impian semua masyarakat yang kurang mampu. Dan aku merasa sangat bahagia karena aku dapat melakukan sesuatu yang berguna, dan Henri mendapat pelajaran yang berharga juga, tidak ada yang tidak mungkin kalau kita berusaha, dan jangan pernah menyerah.

No comments:

Post a Comment