2. The Mystery of Xavier.
“Tidak, aku tidak mau menerima partner seperti pria ini.” Marahku saat berada diruangan mama. Aku kesal karena mama harus menggantikan posisi Belinda sebagai partner kerja. Ya, disatu sisi aku senang karena aku tidak akan bekerja sama dengan di cengeng Belinda, kuharap Georgina yang akan menjadi partner baruku, ternyata Xavier, dan Georgina adalah partner baru Jena. Beruntung sekali Jena karena mendapat partner yang tidak banyak bicara seperti Georgina. Aku benci mengakui hal ini. Tatapanku sinis, pada Xavier yang ada diruangan itu juga, maksudku, dia duduk desebelahku dihadapan mama. “Take and give, Natalie, Xavier telah banayk membantu dalam department ini. Mama hanya ingin memberimu partner yang sebandung dan yang terbaik.”
“Kau punya rencana dibalik ini, aku tahu itu, dan jawabanku adalah tidak.”
“Kau tidak punya hak untuk menolak Natalie. Xavier akan menjagamu dengan baik, dia bisa menjadi ajudanmu.”
“Dan kau tidak punya hak untuk mengaturku, kenapa kau ini? Dan kau Xavier, dibayar berapa kau oleh mama untuk hal ini?” kataku ketus sambil menatap sinis Xavier. “Jaga mulutmu Natalie.”
“Memangnya mulutku penjara yang harus dijaga, lebih baik aku pergi dan aku tidak butuh pengawal seperti dia.” Lalu aku beranjak dari tempat dudukku dan keluar ruangan tentunya dengan membanting pintu ruangan mama, para vampire yang lain melhat tingkahku tadi, lalu aku merasakan Xavier mengejarku. Aku keluar gedung dan berjalan di trotoar dengan penuh ketertekanan. “Natalie, tunggu.”
“Jangan ikuti aku.” Aku tetap berjalan tanpa mempedulikan Xavier, enah kemana aku harus berjalan, dan kurasa Xavier tetap mengikutiku. Lalu aku merasan Xavier meraih tanganku dan berkata, “Natalie, mari iukut aku.”
“Mau kemana lagi kau membawaku?” dia diam saja. Dia menggandengku entah kemana dia ingin membawaku. Lalu kami menyebrangi zebra cross dan terus berjalan. Lalu tak lama kami sampai ditaman kota. Disana ada yang menjual balon, arum manis, permen, popcorn, dan lainnya, ada anak kecil, bahkan orang tua. Seumur hidup aku tidak pernah ketaman kota, aku fokus pada pendidikanku, dan melatih kemampuanku. “Kenapa kau membawaku kesini?” lalu Xavier mengajakku duduk. “Lihatlah, disini banyak orang, entah ada vampire lain atau tidak disekitar kita.”
“Lalu? Kau ini mau apa?”
“Kau lihat anak itu?” Xavier menunjuk kearah anak bayi dalam kereta dorongnya dan seorang wanita yang berpakaian rapih sedang menghibur bayi yang menangis itu. “Ya, lalu?”
“Kau pikir wanita itu ibunya?”
“Tentu, siapa lagi.”
“Kalau begitu, coba kau lihat ibu yang itu, dan anaknya yang merengaek meminta gulali.” Xavier menunjuk kearah mereka, “Ya, lalu, apa kau ingin bertanya bahwa apa wanita itu ibunya? Ya kupikir dia juga ibunya.”
“Exactly. Dan apa kau pernah ketempat seperti ini?”
“Ini baru pertama kali, biasanya aku hanya melihat dari luar.”
“Untuk tebakan yang kedua kau benar, dan untuk yang pertama kau salah.”
“Maksudmu?”
“Kau tidak pernah melihat seragam pengasuh bayi? Dia bukan ibunya, tetapi pengasuhnya. Dan lihat wanita itu, dia yang menelepon didekat kereta bayi itu? Kurasa dialah ibunya.”
“Kenapa begitu? Kenapa sepertinya ibunya tidak peduli?”
“Bukannya tidak peduli, ibunya pasti ada urusan bisnis, iya tidak ingin anakknya terlantar, pasti dia berbuat begitu bukan karena tidak peduli pada anaknya, dia ingin memberi yang terbaik pada anaknya.” Mendengar ucapan Xavier tadi, aku terungat masa kecilku yang jarang bertemu mama. Aku terus menggali kemampuan diriku dan hal itu tidak membuatku senang. Setiap aku melapor pada mama atas hasil dan prestasi yang kuraih, mama hanya bilang ‘bagus, selamat ya, dan kau puas akan hasil seperti ini? Buat ini lebih baik lagi.’ Ya mama hanya terus mengatakan hal seperti itu. Tidak pernah aku melihat senyum kebanggaan dari bibir mama. Aku bahkan merasa mama lebih peduli pada belanjaanya dari pada anaknya sendiri. “Apa tujuanmu memberitahuku hal seperti itu?”
“Ibumu, dia menitipkanmu padaku. Dia percaya padaku, dan aku tidak akan mengecewakannya. Apa kau paham maksudku?”
“Dia memang tidak pernah peduli padaku. Lalu kau ingin agar aku percaya padamu.” Dia hanya mengagguk. Apa memang sudah jalannya aku percaya padanya? Apa aku harus mempercayainya? Tapi kenapa? Kenapa aku percaya padanya? Kenapa, aku tidak bisa membunuhnya?
“Natalie, tadi Elisa memberiku laporan bahwa para werewolf, elf dan Pegasus hidup aman di Bandung, maksudku kota di Indonesia. Dan ibumu ingin kita ke Bali.”
“Baguslah kalau begitu? Apa? Ke Bali? Untuk apa?”
“Bertemu keluarga Burney.”
“Keluarga Burney? Untuk apa? Rencana perang? Ini baru yang aku suka.”
“Sejujurnya, kawasan Asia agak terancam. Kita kesana untuk mengetahui keadaan, sama seperti saat kau ke Paris.”
“Siapa dalangnya kali ini? Biar kutebak, dua gadis berbahaya?”
“Ya, Amanda dan Luster Ernesto.”
Sudah kuduga, Amanda dan Luster keturunan Ernesto. Keluarga menyebalkan. Menambah tugasku saja. Entah kenapa aku merasakan ini adalah jalan yang mungkin bisa membantu mengungkap misteri, misteri yang memang mebuatku penasaran. Lalu Xavier pergi, entah kemana, aku tidak mengikutinya, sudah kuduga, dia beli minuman dan popcorn. Lalu ia kembali dan menyerahkan segelas minnuman, baunya seperti lemon tea, dan popcorn with caramel cream, baunya sih seperti itu. Lalu aku memakannya dan memang karamel.
Aku tidak pernah merasakan makanan atau minuman yang ada di kaki lima. Maksudku, didaerah seperti ini. Ternyata menyenangkan juga, makanan biasa seperti ini, bisanya aku mengemil makanan yang dijual di mall, atau restoran, yang berbau jetset.
“Setelah ini kita mau kemana?”
“Aku tahu, kau tidak mau pulang, iya kan?” jawab Xavier santai sambil meminum minumannya. “Tapi kita harus kembali dan mengambil surat izin untuk ke Indonesia.” Aku hanya mengagguk. Xavier, dia bisa menenangkanku. Kenapa bisa? Bagaimana bisa?
Lalu setelah makanan kami habis, Xavier mengajakku kembali kekantor, dan menuju ruangan Katherine. “Okay, besok kalian berangkat, bisa? Apa kalian sanggup dan bersedia? Mendengar laporan kemarin, kurasa kalian berdua saja cukup.” Jelas Katherine.
“Kath, berangkatnya naik jet pribadiku kan?” kataku.
“Naik pesawat umum saja.” Celetuk Xavier. “Xavier, naik jet pribadi.” Celaku.
“Sudah, Natalie, mungkin lebih baik naik pesawat umum.”
Huh, sudahlah, aku ikut saja, semoga tidak ada terror dipesawat itu. Setelah mengurus semuanya, Xavier mengantarku pulang, maksudku, dia yang menyetir mobilku, dan dia pulang dengan berjalan kaki setelah mengantarku. Aku lalu masuk dan mengemasi barangku. Hari ini aneh sekali sepertinya, aku marah tetapi merasa senang. Ini mungkin hal langka, sama seperti waktu itu, saat aku marah diruang sidang.
Setelah semua beres, aku mandi, makan malam dan tidur…
Masa lalu…
“Rumahmu dimana?” Natalie kecil bertanya pada anak lelaki yang baru ditemuinya itu.
“Diujung sana, kediaman keluarga…”
“Aha, aku kenal orang tuamu nak, mereka vampire yang baik. Aku tahu kau vampire nak.” Alessandro memotong pembicaraan anak kecil tadi.
“Oh, syukurlah kalau sudah samapai, mungkin kita bisa bermain, Tn. No-name.”
“Eh, terima kasih, Natalie, kau baik sekali padaku.”
Lalu diluar sana sudah menunggu seorang wanita yang sepertinya terlihat cemas, lalu wanita tersebut melihat kearah truck Alessandro. Alessandro berhenti dan membukakan pintu untuk anak kecil tadi, lalu Natalie membuka pintu dan ikut turun, “Oh, kau selamat.” Kata wanita itu. Wanita itu memeluk anak kecil tadi, “Alessandro, terima kasih.” Lalu wanita itu menjabat tangan Alessandro. “Sama – sama, El, jaga anakmu baik – baik. Natalie, ayo kita pergi.” Lalu Alessandro menggandeng Natalie, dan kembali menaiki truck.
“Mereka vampire dari Inggris juga?” Natalie penasaran. “Tidak, Natalie, mereka memang bisa berbahasa Inggris. Memang aneh, karena warga Russia biasanya tidak berbahasa Inggris.”
“Kenapa?” Tanya Natalie lagi. “Mereka, memang tidak belajar. Ibu anak tadi, kebetulan aku mengenalnya, dia masih keturunan Inggris.”
“Apa aku, tetap boleh bermain dengannya, Al?” Alessandro hanya mengagguk.
Natalie dewasa…
Aku terbangun dari mimpiku, dengan membuka kelopak mataku tanpa kaget sedikitpun, aku melihat keluar, matahari belum muncul, rupanya aku terbangun karena alarm berbunyi, menunjukan pukul 03.30am, karena pesawatnya berangkat jam 05.00am.
Lalu aku bangun dan mandi, mempersiapkan diri menuju Indonesia. Hari ini aku menggunakan jeans dan kemeja putih, dengan sepatu Dr. Martins putih. Aku lalu segera bersiap berangkat diantar supir, menuju rumah Xavier, ternyata dia sudah disini, lalu kami berangkat bersama. Pada pukul 04.50am, kami sampai di bandara. Dan segera bersiap menuju pintu keberangkatan dan check in. setelah boarding kami berangkat, penumpangnya lumayan banyak juga, entah mengapa aku merasakan pemumpang misterius melihat kearah kami, dan firasatku buruk akan ini. Ia memakai fedora merah darah, coat merah panjang, ia terlihat tinggi kurus, dan posturnya sungguh aneh, sepertinya itu bukan tubuh aslinya, dan kaca mata hitam serta syal putih yang menutupi mulutnya. Ia duduk disebrang dan satu bangku didepan kami. Sudah kuduga. Mungkinkah ini perjalanan menarik, atau perjalanan yang beresiko? Aku tidak tahu, yang pasti, aku sudah siap akan semua ini.
Lantas aku membisiki Xavier, “kau kenal dia?”
“Tidak, rupanya kau menyadarinya.”
“Menurutmu apa yang harus kita lakukan?”
“Mungkin berpura – pura menjadi pasangan yang akan berbulan madu?”
“What?” aku kaget, dan Xavier merangkulku, dan aku diam saja, jujur aku tidak mengerti maksudnya, lalu ia berkata lagi, “Sudah, kau ikuti saja, sekarang berpura – puralah tersenyum padakau atau apalah, atau mungkin letakan kepalamu di pundakku?” aku bingung dengan semua perkataannya. Lalu tangannya mengarah ke kepalaku lalu kepalaku diletakannya di pundaknya. Aku lalu melihat penumpang mencurigakan tadi, dan sepertinya ia bingung dengan sikap kami. Sesekali ia melihat kearah kami, sesekali tidak. Sebentar, apa yang ada dikantungnya? Pistol? Tidak mungkin, bukan, sebentar, tangannya dia selipkan disakunya, dari bentuknya, mungkinkah itu
No comments:
Post a Comment