Thursday, May 13, 2010

1. Sementaraa

1. Giovanni Diaz.
“Eh, dimana aku? Dengan keadaan seperti ini? Oh my fuck.” Aku mengeluh.
“Welcome to my world, my daughter. ”
“You, you…”
“I’m your father, my daughter,”
“Oh my bloody scandal, it can’t be. You, must be Giovanni Diaz right? And what? Someone like you, is my father? No way. And you must be Wolfgang Nara right? So you use your son to get me? What the hell.”
“Sejujurnya nak, saya tidak pernah menyuruh anak saya untuk melakukan hal itu.” Jawab Wolfgang.
“Oh ya? Lalu apa tujuan kalian menangkapku? Kalian ingin apa dariku?” jawabku ketus. Lalu aku sedikit memanjangkan kuku untuk memotong tambang yang mengikat tanganku. Sial, keras sekali talinya, tak apa, perlahan tapi pasti, lalu Wolfgang meniggalkanku dan kini diruangan itu hanya ada aku dan Giovanni. “Well, apa maumu? Giovanni.”

“Natalie, itukah namamu?”
“Ya, tentu, apa lagi? Kau bilang aku anakmu? Aku tidak yakin.”
“Kalau begitu, siapa bapakmu? Siapa nama ayahmu?” lalu Giovanni mendekat dan jongkok dihadapanku, tampangnya memang tampan, benar kata Belinda, badannya kekar selayaknya anggota wajib militer. Entah kenapa aku merasa matanya sama denganku, apa mungkin memang dia ayahku? Ayahku seorang buronan? Sungguh dramatis.

“Entahlah. Aku tidak tahu. Mama tidak pernah memberi tahu hal itu padaku.”
“Natalie Clyde. Clyde adalah marga ibumu. Asal kau tahu saja.”
“Tahu apa kau soal ibuku? Lalu apa seharusnya namaku? Natalie Diaz?”
“Bukan.”
“Lalu? Kau ini membuatku bingung.”
“Savanna, namamu Savanna Diaz, Savanna Megan Mirabella Diaz.” Jawab Giovanni. Savanna? Savanna yang selama ini kudengar adalah namaku? Jadi selama ini, tidak, ini aneh sekali, aku Natalie, bukan Savanna bla-bla-bla, apalah itu. “Apa tujuanmu? Ingin menjelaskan semua omong kosong ini?”
Giovanni hanya tersenyum licik, dan disaat itu aku berusaha memotong tambang yang mengikat kakiku. Sial, aku tidak bisa membaca pikiranya. Entah apa yang ada diotaknya sekarang, “And guess what? I’m gonna kill you now.” Lalu tambang yang mengikat tanganku lepas dan aku melompat sehingga kursi yang kududuki terpelanting kearah Giovanni, sementara kondisiku itu masih dengan kaki terkikat. Kursinya membentur kepala Giovanni, menjadikan posisiku tengkurap dilantai dengan kursi yang posisinya membentur kepala Giovanni dan dikesampatan itu aku memotong tali dikakiku, dan berhasil, tepat bersamaan saat Giovanni bangun. “Sudah kuduga kau akan melakukan ini Savanna, jadi sekolah militer milik Alessandro memang terbukti berkualitas tinggi.”
“Tahu apa kau tentang hal itu? Jadi kau kenal juga dengan Alessandro?”
“Ayolah Savanna, lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Watch me.” Lalu aku berlari menuju dinding, dan berrlari didinding itu, sebelum jatuh, aku sudah berada didinding yang dimana dinding tersebut yang saling berampit yang membentuk sudut 900 (maksudnya dipojok) lalu melompat keatas (dengan keadaan kuku yang kuat ini lebih memudahkanku) dan meraih langit – langutnya, lalu dengan kuku yang kupunya, aku menusuk kaca yang ada sehingga pecah dan menendang kaca tersebut dengan kakkiku lalu keluar dan meraih pohon cemara yang ada diluar, lalu melompat kepohon satunya. Melihat aksiku, Giovanni mengejarku melewati jendela yang bolong tadi dan mengejarku, setelah lumayan jauh, lalu berlari turun dari pohon dengan lincahnya seakan pesenam dan berlari.
Aku masih merasakan Giovanni mengikutiku, walaupun agak tertinggal. Aku berhenti dan mulai mencari jalan keluar, lalu aku merasa familiar dengan tempat ini. Lalu aku mencoba menerka jalan dalam keadaanku yang tertekan. Aku hanay bisa berharap pada instingku. Entah apa lagi yang harus kulakukan selain berlari, walau Giovanni masih jauh tapi, rasanya jiwaku ingin lepas dari tubuhku menerima kenyataan ini, dia tidak mungkin asal bicara, karena aku merasakan kontak batin dari dirinya. Siapakah aku sebenarnya. Aku terus berlari tak bermuara, lalu kutemukan setitik harapan, sepertinya aku melihat jalan setapak untuk keluar dari rimbunan pohon ini. And guess what, I found my ride. Dan pelajaran pertama dalam situasi genting seperti ini, janagn lupa bawa kunci cadangan. Lalu aku menyalakan mesin mobilku dan kabur, aku melihat dari kaca spion Giovanni menaiki mobil pick-up, atau mungkin bisa dibilang naik truck. Aku berusaha kabur dan ia terus mengejarku, tak lama kemudian aku memasuki jalan raya dan melihat kesempatas emas untuk kabur. Secara teknis mungkin mobilku mudah ditemukan karena sedikit berbeda, well, mungkin aku harus pintar mengecoh belakangku itu. Ya truck warna hitam, jelas sekali. Aku berusaha kabur, tetapi rupanya Giovanni pandai juga, sulit untuk kabur dari kejarannya. Mungkin jika aku, ah, apa yang kupikirkan, ini bisa jadi keributan besar. Mungkin harus kucoba. Aku mulai memasuki jalur arus balik dengan posisi yang tidak semestinya, maksudku aku tidak mengikuti alur yang ada. Mungkin ini memang gila, tapi jika aku bisa membuat kemacetan dia tidak akan mengejarku. Kulihat ia mengejarku dibelakang, dan aku melihat ada umpan bagus didepan.
Ya, ada truck besar didepan, dan ia mengklakson kearahku, (sebenarnya dari tadi seluruh mobil sudah mengklaksonku) lalu aku sengaja tidak mengelak sampai jaraknya dekat sekali, lalu baru aku membanting stir dan truck itu nge-rem mendadak, lalu aku berpindah jalur lagi kejalur yang seharusnya. Dan disitu terjadi kemacetan yang menghalangi Giovanni untuk mengejarkau, kali ini aku berhasil lolos.
Lalu aku menuju kerumahku, setelah masuk kekomplek perumahanku, aku berbelok kearah rumah Xavier. aku benar – benar atas kelakuan bapaknya. Tak lama ketika kusampai didepan rumahnya dan turun, aku mengetuk pintu rumahnya dengan ketukan yang keras, “Xavier, aku tahu kau ada didalam, keluar kau!”
Lalu tak lama seseorang membukakan pintu dan itu Xavier, lalu aku menamparnya, “Beraninya kau, beraninya kau menggunakanku agar bapakmu dapat menculikku. BERANINYA KAU?!”
“Natalie, aku, aku tidak tahu akan hal itu, aku, sama sekali tidak melakukan hal itu, aku tidak pernah memanfaatkanmu, tolong dengarkan penjelasanku.”
“Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan.” Lalu aku mencekiknya dengan tangan kanan dan kuku – kuku ditangan kiriku mulai memanjang dan hampir menusuk matanya. Entah kenapa saat aku ingin menusuknya, aku teringat dengan masa kecilku saat di Moscow, dimana aku bertemu dengan anak laki – laki. Entah kenapa memori itu teringat begitu saja, lalu aku melepaskan ancaman tanganku dari wajahnya. “Kenapa kau tidak membunuhku tadi, Natalie?”
“You, you…”
Lalu entah kenapa hal itu terjadi. Aku langsung berbalik badan dan pergi meninggalkannya. Aku langsung menuju mobilku dan pulang…

15 tahun yang lalu…
“Natalie, selamat, kau bisa bertahan dan lulus dalam ujian kali ini.” Ucap Alessandro kepada Natalie saat berumur 5 tahun. Alessandro adalh guru bela diri Natalie saat itu. Saat itu Natalie sedang berlatih melawan rasa takutnya di hutan pada saat musim dingin di Moscow. Lalu setelah itu, Alessandro berkemas dan Natalie melihat anak kecil, anak laki – laki yang mengintipinya dari jauh dibalik pohon, lalu tak lama karena malu, anake tersebut jatuh terpeleset kebawah, melihat kejadian itu, Natalie menghampiri anak itu, “Kenapa kau ini? Apa tidak apa – apa? Ini, raih tanganku,” Natalie mengulurkan tangannya dan membantu anak kecil tadi bangun. “Namaku Natalie, siapa namamu?”
“Eh, aku, lebih baik kau tidak tahu. Terima kasih telah membantu.”
“Sama – sama, apa kau tersesat, paman Alessandro adalah guruku, dia bisa membantu, ayo.” Natalie kecil lalu menarik anak tersebut. “Whoa, Natalie, kau mendapat kawan baru rupanya. Hallo anak manis.” Kata Alessandro pada anak itu. Lalu Alessandro memberikan segelas coklat hangat pada anak itu, “Ini, kau pasti kedinginan. Dimana kau tinggal, biar paman mengantarmu.” Lalu anak itu meminum coklat panas dari Alessandro. Anak itu diam saja. Seakan ketakutan, Alessandro terlihat menerti kenapa anak tersebut ketakutan. “Ayo ikut kami nak.” Kata Alessandro berusaha menenangkan anak tadi. Lalu mereka pergi naik truck berwarna putih yang dibawa Alessandro.

Natalie dewasa…
Huh, aku ingat masa itu. Masa dimana untuk kedua kalinya aku menangis didunia ini, setelah sampai, aku segera memarkirkan mobil dan kembali kekamar. Aku merebahkan tubuhku kekasur empukku. Aku ingat semua kejadian hari ini yang sama sekali tidak menyenagkan. Lalu aku mendengar suara petir diluar jendela, lalu aku menuju balkon jendela tersebut. aku melihat keatas petir yang sangat dahsyat dan terjadilah hujan lebat, dan itu mengingatkanku pada saat – saat aku bersama Xavier. dia adalah vampire pertama yang membuatku merasa senang yang benar – benar senang yang berbeda. Pada akhirnya, banyangan terakhir yang kuingat saat aku hampir membunuh Xavier. itu merupakan ingatan yang sangat menyakitkan.

No comments:

Post a Comment