Monday, June 28, 2010

7. Brother or Partner? (Sementara)

7. Brother or Partner?

“Siapa kau sebenarnya Xavier?” Tanya Natalie.
Aku harus jawab apa? “Aku? I’m your partner, Nat.”
“Bohong. Tidak mungkin kalau kau bukan siapa – siapa ku kau tidak mungkin sebaik ini.”
“Natalie, aku, aku…”
“What?!”
“Apakah perlu suatu penjelasan untuk berbuat suatu kebaikan? Apakah setiap kebaikan selalu ada upahnya?”
“Tidak, tetapi kebaikanmu berbeda, tidak mungkin ada teman atau partner yang benar – benar mengerti diriku seperti ini, masalahnya aku baru saja sedikit mempercayaimu, lain ceritanya kalau kita sudah akrab sejak dulu, kau berbeda.”
“Nat, kau boleh menyiksaku atau apapun, tetapi jangan, tolong jangan sekali – kali kau menanyakan pertanyaan yang aneh – aneh padaku, bisa?”
Natalie hanya diam, aku pun juga bingung harus bagaimana, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menjawab rasa penasarannya.
Lalu aku melihat kearah Natalie, iya memejamkan matanya, aku bingung, apa yang terjadi, mungkinkah ia tertidur?
15 tahun yang lalu…
“Natalie, kau tidak ingin latihan hari ini? Kau tampak tidak bersemangat.” Tanya Alessandro, Natalie hanya tersenyum lalu berkata, “apa tidak ada libur untukku? Hari ini tanggal 9 January, ini ulang tahunku. Aku ingin istirahat, sejak umur 3 tahun, aku sepertinya tidak pernah merayakan ulang tahunku.”
Alessandro lalu mengingat memori itu, saat Natalie terlalu lelah, sehingga ia harus melewati hari ulang tahunnya di ranjang dengan tubuh lemas, lalu saat umur 4 tahun, iya harus berlatih keras dan latihan piano dan biola, untuk mengasah kemampuan tangannya, dan saat ulang tahun ke 5, dia harus menghabiskan waktunya untuk berlatih berburu, mungkin ia harus libur? Ia tidak pernah ulang tahun mengundang teman – temannya, mungkin…
“Apa yang kau inginkan, hari ini kau boleh libur.” Lalu wajah Natalie kecil yang murung sedikit ada pencerahan, ya, semakin dewasa Natalie, sifat cerianya semakin hilang, ini karena memang gen Natalie sudah rusak. Yang kemarin bisa tertawa layaknya anak normal, sekarang mungkin hanya senyuman – senyuman kecil nan licik. Alessandro tentu menyadari hal ini. Sudah 5 bulan lebih Natalie berlatih bersama Alex, dan El, ibunda Alex harus hijarah dari kediamannya sekarang dan pindah ke London, ini membuat hari itu adalah hari terakhir Natalie bertemu Alex.
“Ikutlah denganku Nat, ayo.” Natalie hanya diam saja, lalu Alessandro membawanya ke pinggir sebuah danau. “Aku pergi dulu ya.” Kata Alessandro lagi. Lalu tidak lama, Alex datang membawa keranjang piknik, “Happy birthday! Sekarang umurmu 6 tahun, Natalie.”
“Alex, whoa, terima kasih,” kata Natalie. Alex juga membawakan kue, blueberry cheese cake, ya, Natalie sangat suka sekali dengan keju.
Lalu mereka makan dan mengobrol bersama. Bermain selayaknya anak kecil, berlarian di hutan, dan pada saat sore hari, Alex mengajaknya naik perahu di danau. Lalu Alex berkata, “apakah pertemanan kita akan terus berlajut? Sampai kita dewasa?” lalu Natalie menjawab, “Tentu, kenapa?”
Alex hanya tersenyum, ya karena sebentar lagi mereka akan bepisah.
“Ke alamat manakah aku harus mencarimu, sahabatku?” Tanya Alex lagi, lalu sambil mendekatkan posisi perahu ke pingir danau.
“What are you talking about?” lalu mereka turun, dan Alex berkata lagi, “ini mungkin saat terakhir kau bersama Alex, karena aku harus pergi ke London, dan hidup disana, dan melanjutkan sekolah dasar disana.”
Betapa hancurnya hati Natalie, karena ia harus sendiri lagi. “Don’t go, please, stay here.” Ucap Natalie dengan suaranya yang terdengar sedih. “Aku harus pergi, selamat tinggal sahabatku, kita pasti bertemu kembali.”
Lalu Natalie menahan Alex dengan memegang tangannya. “Jangan tinggalkan aku, aku tidak mau sendiri lagi, please, tetap disini.”
Lalu Alex berbalik badan dan memeluk Natalie, “kita akan tetap bersahabat, jangan khawatir, okay?” lalu Alex melepas Natalie, dan mengucapkan kata terakhirnya, “selamat tinggal, Natalie.”
“No, no please, don’t go, Alex…” Natalie lalu berteriak dan mulai mengejar Alex, tetapi sebelum langkahnya melaju, ia ditahan Alessandro, “biarkan ia pergi, Natalie.”
“Al.”
Lalu untuk pertama kalinya setelah Natalie dilahirkan, ia menangis. Ia menagis tanpa suara, dan tanpa ekspresi, ya air matanya keluar begitu saja, dan ekspresi wajahnya tidak berubah sama sekali.
Natalie dewasa…
“Natalie?” aku mendengar suara Xavier manggilku. “Xavier, kau tahu, mengapa aku senang sekali pergi ke danau?”
Xavier hanya menggelengkan kepalanya, “agar aku tetap bisa mengingat “wajah sahabat kecilku, entah dimana ia berada sekarang.”
“Itu bagus, artinya kau tetap ingat dengan seseorang, seseorang yang pernah membuatmu bahagia. Iya kan?”
“Haha, tetapi aku sangat sedih karena harus kehilangannya, kau tahu? Sakit sekali rasanya, dibagian sini,” lalu Natalie memegang jantungnya, (dalam artian hati), natalie lalu melanjutkan pembicaraannya, “aku tidak mengerti mengapa, rasanya sakit sekali dibagian situ.”
“Aku mengerti Natalie, aku mengerti.”
“Sampai kapan kau akan menemaniku disini?”
“Sampai kapanpun. Kau akan kujaga terus, itulah perintah ibumu.”
Tadinya aku ingin bertanya berapa upahnya karena harus menjagaku yang menyebalkan ini? Tapi katanya jangan bertanya yang aneh – aneh, mungkin itu termasuk pertanyaan aneh. Jadi aku diam saja.
Keesokan harinya………………………………………………………………………………

“What the bloody hell??? Homeschooling?! Mama, are you lost your mind?” reaksiku ketika bangun pagi dan dikejutkan dengan berita bahwa Edwin akan belajar dirumahku, “sejujurnya mama sedikit meminta bantuan padamu sayang, kau akan menjadi guru piano bagi Edwin.”
“Hah? Kalau memang begitu, sepertinya lebih baik kalau Edwin disekolahklan di Demonita Royal School of Music?”
“Iya rencananya memang begitu, tetapi mengingat kalau nyawa Edwin terancam, sepertinya ia lebih baik homeschooling.”
“Whatever, but why me? Kenapa harus aku yang menjadi guru musiknya?”
“Kau kan alumni disitu, lagi pula kau kan juga berpengalaman dalam homeschooling.”
“Ya, karena sejak kecil aku homeschooling kecuali saat Senior High School dan kau menyekolahkanku di Demonita Royal School of Music.”
“Natalie, karena kau berpengalaman akan ini, lebih baik kau yang mengajarnya, mengerti? Berhematlah sedikit.”
“Kita bangsawan mama, keluarga kolongmerat yang hartanya dimana – mana, uang kita terlalu banyak, kenapa kita harus pelit? Tidak aku tidak mau.”
Mama hanya menggelengkan kepalanya dan entahlah, beberapa saat kemudian aku mengenakan pakaian selayaknya seorang guru. Mama benar – benar memakasaku. Jas hitam, kemeja tangan buntung putih, rok hitam, stoking putih, dan kaca mata kotak berwarna abu – abu. What? Kacamata? Mataku tidak bermasalah. Belum lagi rambutku yang tidak digerai, aku terlihat benar – benar seperti guru dengan rambut dikonde.
“Untuk apa kacamata ini?”
“Hmm, supaya lebih meyakinkan kalau kau memang seorang guru, lagi pula ini menggunakan kaca anti radiasi.”
“Hah? Itu penting?”
“Sejujurnya tidak, ini jadwal mata pelajaran Edwin.”
“Sains, sosial, bahasa Russia, ilmu beladiri, dan musik? Untuk pa dia belajar bahasa Russia? Mama bagaimana dengan posisiku di department of vampire?”
“Untuk posisimu kau tidak perlu khawatir, lagi pula kau kan bisa bahasa Russia, tidak masalah kan? Sudahlah, Edwin sudah menunggu di ruang belajarnya, cepat.”
Ini sudah gila, aku bisa mati kebosanan karena tidak menghajar sesuatu. Dan menjadi guru? Ini benar – benar kegilaan yang menyiksa, mama itu sebenarnya apa? Apa yang ia rencanakan? Dan mengapa aku harus menjalani semua ini?
Lalu aku masuk keruang belajarku, ya ruangan ini adalah ruangan diwaktu aku menjalani masa homeschooling. Dan Edwin sudah menunggu, dengan pakaian rapih. Sepertinya ini seragam? Kemeja, jas celana bahan dan pantopel? Whatever…
“Biar kutebak, kau akan menyiksaku bukan?” celetuk Edwin.
“Bagus kalau kau cepat tanggap, kau ingin belajar apa sekarang?”
Lalu Edwin menunjuk kearah meja belajar, dan disitu sudah terdapat buku sejarah musisi legendaris, tetapi kalu kulihat jadwal, seharusnya belajar sains.
“Sekarang fisika, keluarkan buku fisikanya.” Kataku, “aku tidak mau belajar itu, aku maunya musik. Ya sedikit beladiri, karena dalam beladiri ada gerakan seninya.”
“Fisika, kau butuh pelajaran ini.” Kataku semakin tegas, Edwin mangkin terlihat jengkel. Lalu aku mulai mengajarinya, ini bab mudah, bab listrik. Ia cepat tanggap dan mudah mengerti, sebenarnya anak ini pintar, setelah itu kita belajar biologi, biologi vampire tentu berbeda, ya, karena kita ada bab khusus, yaitu susunan anatomi tubuh vampire. Kali ini Edwin sedikit kewalahan dengan jantung vampire, walaupun secara teknis ia bisa.
“Aku masih tidak mengerti, dengan 4 bilik ini, perbedaan jantung manusia dan jantung vampire salah satunya adalah manusia mempunyai 2 bilik, bilik kanan dan kiri, kenapa jantung vampire bikinya ganda?”
“Disini sudah dijelaskan, karena peredaran darah kita 5X lebih cepat dari manusia, dan produksi darah kita lebih besar, dibutuhkan tenaga extra untuk ini, paham?”
“Lalu kenapa? Kenapa aku hanya punya 2 bilik? Apa artinya aku akan mati?”
“Apa yang kau bicarakan?”
“Miss. Clyde, aku hanya mempunyai 2 bilik jantung. Lalu bagaimana dengan hidupku? Apa penawar racun akan membuat jantungku tumbuh?”
Aku harus jawab apa? Jadi intinya aku sedang mengajarkan seorang anak yang akan segera meninggal?
“Jawab aku, Miss. Clyde, guru homeschooling-ku.”
“Edwardian Burney, dengarkan aku, apapun yang ada di dalam tubuhmu, kita tetap sama, aku dan aku, kita sama – sama vampire murni, kita tidak berbeda, dan kita harus memperjuangkan hidup kita tersebut, mengerti? Bisakah kita belajar lagi?”
Edwin hanya diam, dia seperti tidak terima tentang apa yang terjadi dengan tubuhnya, lalu aku berkata lagi, “jangan bahas hal yang aneh – aneh, okay? Aku tahu kau begitu terpukul akan tubuhmu, aku yakin kita bisa memperbaikinya, that’s why, you here. Untuk mendapat yang lebih baik, kau mengerti?” lalu Edwin hanya tersenyum, dan dengan lantang aku berkata, “siapa itu? Siapa yang mengintip itu?” kataku tanpa menengok sedikitpun kearah pintu.
“Ini aku. Maaf kalau mengganggu, aku akan menunggumu diluar.” Katanya, jelas, dia Xavier.
Lalu aku melanjutkan kegiatanku. Aku kembali menjelaskan tentang susunan jantung vampire, dan akhirnya kita memasuki pelajaran terakhir, bahasa Russia.
“Mana buku panduan bahasa Russia-nya?” Tanyaku pada Edwin.
Ia hanya menggelengkan kepala, huh menyusahkan sekali, lalu aku pergi ke perpustakaan dan mengambil buku panduan bahasa Russia. Masalahnya aku juga lupa-lupa ingat jadi aku butuh panduan, aku sebenarnya bisa tetapi harus langsung praktek. Aku masuk ke perpustakaan, dan mulai mencari bukunya, nah ini dia, tunggu, siapa itu? Pria berkacamata sedang membaca buku. Entah buku apa, sepertinya aku belum pernah melihatnya, eh dia? Xavier? sejak kapan ia memakai kacamata?
“Apa kau Xavier?” aku bertanya, sepertinya ini pertanyaan bodoh. “Tentu saja. Kau lupa padaku?” responnya. Aku diam saja, terpana akan wajanhya yang berbeda, maksudku, ia well, secara teknis memang tampan sekali, tetapi dengan kacamata ini, ia terlihat tampan sekali, apa yang kupikirkan? Kenapa aku terdiam mendadak seperti ini? Pasti tampangku terlihat bodoh. “Natalie? Kau kenapa?” Tanya Xavier tiba-tiba. “Tidak, hanya saja kau terlihat berbeda, sejak kapan kau memakai kacamata?”
“Mataku memang sudah kurang bagus, ini minus 1.”
“Kau memakai softlense selama ini?”
“Tidak, kalau membaca biasanya aku memang memakai kacamata. Kau pikir warna mata abu-abu ini palsu?”
“Tidak, tidak, kau hanya terlihat berbeda. Itu saja.”
“Kau kenapa berpakaian seperti guru? Serta kacamata? Kau ini guru tetapi kenapa terlihat ‘sexy’ seperti ini?”
“Ini paksaan mama, padahal aku juga tidak mau berpakaian seperti ini, ini karena aku harus mengajar Edwin, bahkan kacamata ini hanya kacamata biasa. Apa aku terlihat buruk? Sudah kuduga.”
“Tidak, pakaian ini cocok untukmu, hanya saja well,” lalu ia medekat dan melepas kacamataku, “begini kan lebih baik, aku suka warna matamu yang hijau.” Lanjutnya, aku diam saja, sejujurnya aku ingin bilang mataku dan mata kucing tidak ada bedanya, kenapa aku diam saja? Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya terhadap pria. Lalu mama masuk sambil merapihkan pergelangan tangannya dan berkata, “maaf kau harus menunggu lama Xavier,” lalu ia melihat kami berdua dan berkata lagi, “apa yang kau lakukan disini, Natalie?”
Lalu aku segera memakai kacamata ‘tidak penting itu’ dari tangan Xavier dan memakainya, aku tidak ingin ada masalah dengan wanita (baca: mama) itu, “Tidak aku hanya mengambil buku ini.” Kataku sambil meunjukan buku panduan belajar bahasa Russia. “Omong-omong, untuk apa pria ini disini?” tanyaku sambil menunjuk Xavier, bicaraku jadi kacau sepertinya, pasti tampangku terlihat bodoh sekali, “ini rumah mama, jadi terserah mama mau mengundang siapa saja, apa itu masalah?” kata mama.
“Tidak, lebih baik aku pergi dari sini, aku tidak ingin menggangu. Permisi.” Kataku, sepertinya nada bicaraku tadi kacau, lalu aku segera keluar dan menemui Edwin dan melanjutkan pembelajaran. Mama dan Xavier terlihat bingung dengan sikapku sepertinya, dan mama hanya menggelengkan kepalanya, kenapa aku jadi aneh begini?
Sisi Mirabella.
“Wow, kau berhasil mengubah anakku sepertinya, Xavier.” kataku.
“Tidak juga, ia masih kasar.”
“Aku ingin dengar semua laporanmu, ia lepas kendali lagi bukan? Karena itu aku rugi dan langsung memperbaiki danau Forbidden Hills.”
“Maaf, itu kecerobohanku, harusnya aku tidak meninggalkan dia.”
“Itu bukan salahmu, ia sudah jadi lebih sabar sekarang, terima kasih Xavier, teruslah seperti ini,” Xavier diam saja, lalu melanjutkan pembicaraanku, “aku tahu Xavier, aku berjanji akan membebaskanmu dari semua ini, setelah ini berakhir, kau silahkan pergi, kau bebas kemanapun tanpa harus mengikuti Natalie. Kau bisa meninggalkan dia.”
“Aku tahu, aku akan berusaha melakukan yang terbaik untuk anakmu.”
“Okay, sepertinya suasana menjadi tegang seperti ini, well, kembali ke rencana gila suamiku. Aku ingin rencana ini berjalan baik.”
______________________________________________________________________________
Sisi Natalie.
“Apa kau mengerti Edwin?” tanyaku pada Edwin.
“Well, secara teknis mengerti, tetapi kenapa kita harus belajar bahasa ini? Menurutku ini tidak penting.”
“Kau tidak boleh berbicara seperti itu. Memang pusat department vampire ada di London, tetapi Russia adalah rumah kedua kami, disanalah kita dilatih menjadi vampire yang kuat.”
“Okay, aku bosan guru Natalie. Bolehkah aku bermain gitar?”
“Jadwal kita hari ini adalah piano.”
“Mungkin kita bisa menjadi duo?” lalu Edwin bangkit dari kursi dan pergi keruang musik, aku hanya mengikutinya. “Ayo Natalie, okay kau mau jadi melod atau apa? Okay aku melod-nya ya.”
“Hey aku belum menjawabnya, okay.” Lalu ia mulai memetik gitar, aku tahu ini, ini lagu Depapepe, duo gitar dari Jepang, “jangan kau pikir aku tidak tahu, ini Depapepe - Summer Parade, iya kan?” lalu Edwin hanya mengangguk, luamyan juga tangannya, setelah itu aku menantangnya, “bagaimana kalau lagu ini?” lalu aku memainkan lagu dari Depapepe – Snow Dance, ya melod-nya memang susah, tapi aku bisa. Edwin hanya terheran-heran aku bisa memainkan lagu ini. Lalu ia mulai mengiringiku. “Whoa Natalie, tangamu hebat juga, aku sampai sekarang belum bisa lagu ini. Dan untuk memainkan Summer Parade, butuh waktu yang lama.” Kata Edwin, aku hanya tersenyum penuh kemenangan karena aku lebih hebat darinya. Aku mmempunyai peralatan lengakap diruang musikku, ada cello, grand piano, flute, harp, violin, saxophone dan gitar, ya lalu Edwin berjalan-jalan dan memasuki pintu yang ada diruangan ini, terpampang studio musik dengan sound system yang berkualitas tinggi, ada drum, bass, keyboard, dan dua gitar. Edwin terdiam seakan tidak bisa bicara, aku tahu yang ia pikirkan, belum lagi teknologi canggih yang ada untuk meng-compose sebuah lagu, “ini bukan apa-apa Edwin, aku tidak punya studio rekaman. Karena menurutku itu tidak penting.”
“Kau bercanda? Ini semua benar-benar hebat, ini lebih dari cukup.”
“Tetapi aku menutupi kekurangan tersebut dengan suatu hal, ayo ikut denganku keruang melukisku,” lalu aku mengajak Edwin ke studio lukis, saat melewati ruang santai dan ada perapian disitu, “kau bahkan bermain organ?” celetuk Edwin tiba-tiba. “Ya, dimusim dingin saat berkumpul dengan keluargaku, secara teknis biasanya kalau kita sedang berkumpul, ayo kita hampir sampai.” Kataku, lalu sampailah diruang lukisku, keramik berubah menjadi tatami, ya tatami adalah alas lantai di Jepang, dan ada alat musik Jepang seperti samisen, dan kecapi Jepang. “Aku biasa melukis disini, atau bermain alat musik ini. Aku hanya punya dua alat musik tradisional Jepang.” Jelasku, “hanya dua? Ini lebih dari cukup, lukisan yang bagus, aku suka yang ini, ini pasti kau lukis dengan kuku.” Kata Edwin sambil menunjuk kearah lukisanku yang bertema, ‘Devil Imagination’.
“Kau ini seniman yang hebat, kukira yang ada dipikiranmu hanya kekejaman saja.”
“Aku hargai pujianmu, aku bukan apa-apa karena aku baru 2 kali tampil di, dimana ya? Kau tahu panggung theater paling terkemuka di America?”
“Boardway?”
“Ya itu maksudku, sekali mendapat peran utama, dan juga peran pendukung.”
“Gila, kau ini hebat sekali.”
“Sejak kecil aku belajar semua ini, didampingi juga ilmu pengetahuan alam yang memadai, tetapi aku memainkan semua ini sendiri. Aku tidak punya teman yang cocok untuk berduet denganku, dan duo gitar tadi? Itu untuk pertama kalinya dilakukan dirumah ini.”
“Rumah ini?” Edwin terlihat bingung.
“Demonita Royal School of Music, itu sekolahku sejak sekolah dasar.jadi musik bukanlah hal asing bagiku, disana banya teman untuk diajak bermain musik disana, ya disana, bukan disini.”
“Keluargamu? Tunggu, Demonita? Itu sekolah musik vampire terbaik yang pernah ada, benar?”
“Ya, benar, dan aku lulusan dari universitas Evila Royal College of Music. Yang kualitasnya setara dengan Demonita, maksudku itu lanjutan dari Demonita.”
“Jadi kau kesepian bukan?” Tanya Edwin.
“Mungkin bisa dibilang begitu.” Jawabku dengan nada sedikit murung, ya sedikit murung.
“Tidak lagi. Keluargaku akan memainkan alat musik itu semua, jadi kau tidak akan bermain sendiri lagi, betul tidak?”
Aku diam saja, lalu Edwin keluar dan memberi tahu kakak-kakakknya, ya ia membuat rumahku yang sepi ini menjad ramai.
“Senorita Natalia?” sapa Xavier padaku nada bicaranya seperti petugas well, entah apa namanya yang jelas saat berjalan-jalan ke Italy tepatnya di Venice, pria yang menjalankan perahu di sungai Venice juga memanggilku seperti itu, “Natalia? Sejak kapan namaku berubah menjadi seperti itu?”
“Sudah selesai mengajarnya?”
“Sudah. Kau ada urusan apa dengan mama?”
“Kau tidak perlu tahu Natalie karena itu urusanku dengan Xavier, paham?” tiba-tiba mama lewat dan berkata seperti itu, “okay mom,”
“Omong-omong Xavier, kau kan jago bermai piano, aku bosan dengan alunan piano yang dimainkan Natalie,” lalau mama melirikku sinis, aku hanya memasang tampang sebal, lalu mama melanjutkan lagi “maukah kau memainkan lagu untuk kami?”
“Tentu Mirabella,” jawab Xavier. Lalu mama membisikku, “lepas saja jas dan sesuatu yang menempel dirambutmu, aku hanya ingin kau terlihat seperti guru, aku tahu kau merasa dirimu aneh dengan penampilas seperti ini.” Aku lalu melepas jas yang kukennakan dan ‘sesuatu yang menempel dirambutku’ dan kubiarkan saja tergeletak dilantai. Tak lama kemudian, kami semua berkumpul di ruang musik. “Sepertinya ada yang berbeda dari penampilanmu,” kata Xavier, “diam kau.” Jawabku. “Tetapi jujur, aku suka kacamatamu, Nat.” kata Xavier lagi, aki diam saja dengan tatapan sinis. Ya sekarang aku hanya memakai tank top putih dan rambut yang tergerai, aku lupa melepas kacamata ini, yasudahlah.
Xavier duduk di grand piano-ku, dan berkata, “lagu dari Edvin Marton, Love Story, maukah kau mengiringiku Natalie?”
“Tentu,” lalu aku mengambil biolaku, dan Xavier mulai memainkan lagunya. Aku juga mulai memainkan bagian biolanya, ya aku tahu persis lagu ini, tapi entah kenapa aku merasa lagu ini menggambarkan perasaan Xavier? memangnya ia sedang jatuh cinta? Jatuh cinta hanya membuang waktu bagiku. Aku memainkan biola dengan sebaik mungkin, mungkin setara dengan Edvin Marton itu sendiri, ya anggaplah itu khyalanku.
Setelah lagu selesai, lalu semua tepuk tangan, tunggu? Ternyata ada kakak-kakak Edwin disini, kenapa aku tidak menyadarinya?
“Wow, Natalie, itu keren. Kau bisa jadi saingan Scarlett.” Kata Farrell, “apa maksudmu Farrell? Kau meledekku?” celetuk Scarlett.
“Sejujurnya Natalie memainkan biolanya lebih baik dari kau Scarlett, jadi secara teknis Farrell tidak meledekmu, ia hanya berbicara yang sejujurnya memancing reaksi untuk ‘menyinggungmu’.” Jelas David.
“Itu sama saja bodoh.” Kata Scarlett, Edwin hanya menggelengkan kepalanya melihat kakak-kakakknya bertengkar. Lalu aku melihat ekspresi Xavier yang matanya masih tertuju pada piano, ekspresinya, ekspresi sedih. Kenapa dia?

No comments:

Post a Comment